Human Insani

Human Insani

UU & Regulasi

UU & REGULASI ( SERIKAT PEKERJA )

PHI

UPAH

K3 & Jamsostek

Konsep buruh upah murah, justru bumerang bagi dunia usaha

Membaca judul diatas, mungkin saja banyak yang kaget. Pekerja kalau bisa diupah murah, kok menjadi bumerang bagi dunia usaha?. Sudah sejak lama, yang menjadi paradigma umum di Indonesia adalah, bahwa agar perusahaan mampu bersaing, harus menekan biaya tenaga kerja (labor cost), dan untuk itu kalau bisa, upah pekerja harus ditekan semurah mungkin. Paradigma ini bisa diterima dan menjadi keyakinan umum, adalah karena pada umumnya dunia usaha kita masih terbiasa berpikir untuk kepentingan sendiri-sendiri, jarang yang berpikiran luas pada saat berhadapan dengan perbedaan kepentingan. Terlebih lagi, sejak masa awal digalakkannya promosi penenaman investasi di Indonesia, yang menjadi slogan yang ditawarkan adalah buruh upah murah di Indonesia, Tetapi saya mau mengajak kita semua untuk berpikir, apakah memang benar demikian?

Mari kita merenung sejenak. Menurut data Kemnaker trans RI, jumlah tenaga kerja di Indonesia sekarang ini ada sekitar 45 juta jiwa, dan bila setiap tenaga kerja secara rata rata harus menghidupi 2 orang anggota keluarga, yaitu istri dan 1 orang anak, maka jumlah penduduk yang hidupnya tergantung pada upah adalah sekitar 135 juta jiwa. Seandainya seluruh pekerja di Indonesia mau bekerja tanpa diberi upah, hanya diberi makan saja, apa yang bakal terjadi?. Daya beli pasar domestik menjadi rendah!. Dalam keadaan demikian, siapa yang akan mengalami kesulitan? Siapa yang akan membeli barang-barang hasil industri? Inilah yang harus kita cermati!.
Agar menjadi lebih jelas, mari kita telusuri, apa saja yang akan terjadi, apabila kita tetap mempertahankan konsep pekerja upah murah.
1. Daya beli pasar domestik menjadi rendah à tingkat penjualan (sales omzet) produsen (industri dan bahkan petani) menjadi rendah.
2. Ditinjau dari teori Abraham Maslow, level kehidupan pekerja hanya pada level mampu bertahan hidup dan tidak mencapai level aktualisasi diri à produktivitas dan kreatifitas akan menjadi hal yang jauh dari pikiran pekerja à produktivitas rendah.
3. Moral masyarakat pekerja menjadi rendah à disiplin kerja rendah à kriminalitas akan meningkat.
4. Kemampuan pekerja dan petani untuk menyekolahkan anak menjadi rendah à tingkat intelektualitas angkatan kerja menjadi rendah à dunia usaha akan kesulitan memperoleh calon tenaga kerja terdidik.
5. Pekerja dan petani tidak akan berempati kepada dunia usaha à potensi konflik sosial cenderung akan meningkat.
Kalau kia melakukan analisa lebih lanjut dari seluruh kecenderungan diatas, maka yang terjadi adalah siklus menurun dari pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha, yaitu sebagai berikut:
Daya beli pasar domestik menurun à Sales omzet menurun à Produksi diturunkan à Lapanan kerja berkurang à Tingkat pendapatan semakin menurun à Daya beli pasar domestik semakin menurun à Sales omzet semakin menurun à Dunia usaha bangkrut à Krminalitas meningkat à akhirnya akan terjadi kekacauan sosial (keos).
Kesimpulannya, bila kita tetap mempertahankan paradigma untuk menekan level upah pekerja, maka yang terjadi adalah tekanan terhadap pertumbuhan dunia usaha dan tentu pada akhirnya akan menghancurkan ekonomi negara.
Lalu apa yang harus dilakukan?. Menaikkan level upah?
Memang level upah harus dinaikkan, tetapi menaikkan upah tidak boleh sembarangan. Sebab, level upah yang naik drastis atau terlalu besar, akan mendorong kenaikan inflasi yang tidak terkendali dan pada akhirnya yang terjadi adalah keos ekonomi.
Level upah harus dinaikan terbatas sampai pada level dimana pekerja mampu menyekolahkan anaknya dengan baik, mampu membeli peralatan rumah tangga hasil industri, dan kemampuan menabung sebagai kompensasi uang pesangon. Apabila hal itu dilakukan secara simultan, maka daya beli pasar domestik akan meningkat, dunia usaha dapat berpikir untuk meningkatkan kapasitas produksi à lapangan kerja bertambah à GNP meningkat à tingkat intelektualitas angkatan kerja semakin baik à tingkat kriminalitas menurun à pertumbuhan ekonomi akan lebih mampu mensejahterahkan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan daya saing perusahaan? Bukankah menaikkan level upah akan membuat harga barang produksi meningkat?
Pada poin inilah ada kekeliruan pradigma, menganggap bahwa level upah otomatis akan menjadi harga produksi, padahal sebenarnya tidak. Masih ada hal lain yang mempengaruhi harga produksi. Tapi mari kita lihat, apakah level upah akan otomatis menjadi harga produksi atau tidak.
Pertama.
Mari kita menyimak negara maju, misalnya Jepang sebagai studi banfing. Tingkat pendapatan (upah) yang menjadikan masyarakat mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, akan menghasilkan angkatan kerja terdidik dalam jumlah besar. Dengan demikian, level upah untuk tenaga terdidik cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan kesenjangan upah di Jepang, antara tenaga terdidik (sarjana) dengan tenaga kurang terdidik (paling tinggi SLTA), tidak terlalu jauh, bahkan hampir sama. Lebih lanjut, kesenjangan upah diantara level jabatan yang berbeda pun tidak terlalu jauh. Level upah antara karyawan biasa (operator) dengan Manager hanya 1 : 2 dan operator dengan General Manager hanya 1 : 3. Artinya, akan terjadi pergeseran biaya tenaga kerja, bila biaya tenaga kerja untuk level bawah dinaikkan, akan mengakibatkan biaya tenaga kerja untuk level atas menurun. Sehingga secara keseluruhan, menaikkan upah pada level bawah, tidak otomatis menaikkan total biaya tenaga kerja sebesar seperti yang dikuatirkan oleh banyak pengusaha. Dan bila kesenjangan upah tersebut dapat diturunkan, hal itu akan mampu menyurutkan kecemburuan sosial, dan secara logika, moral manusia akan menjadi lebih baik.
Dan satu lagi yang ingin saya sampaikan. Karena tingkat upah di Jepang dipelihara pada tingkat daya beli yang baik, maka dunia usaha Jepang tetap bisa survive dengan mengandalkan pasar domestik, walau mereka mengalami kesulitan di pasar export. Hal ini didukung juga oleh perilaku masyarakat (konsumen) Jepang, yang be-empati dan selalu mendukung dunia usaha dalam negeri mereka. Mereka sadar bahwa mereka harus mendukung dunia usaha dalam negeri, karena itulah lapangan kerja mereka. Bukan seperti di Indonesia, yang lebih bangga bila mampu membeli produk luar negeri.
Dan di Indonesia, mungkin ada aspirasi yang tidak menginginkan kesenjangan upah diturunkan, karena aspirasi yang menginginkan hidupnya harus jauh lebih “wah” terhadap orang lain, aspirasi itu adalah aspirasi dari paradigma feodalis, dan hal itu seyogyanya harus dfihilankgn.
Kedua.
Harga produksi dapat diturunkan dengan meningkatkan produktivitas. Contohnya sebagaimana tabel dibawah.
Tenaga Kerja 45 juta orang
Tingkat Upah
Produktivitas
Biaya per unit
Kondisi I
Rp. 800.000.-
100
Rp. 8.000.-
Kondisi II
Rp. 1.000.000.-
130
Rp. 7.695.-
Perbedaan
+ Rp. 200.000.-
+ 30
- Rp. 305.-
Makna yang tersirat dari tabel diatas adalah, walaupun level upah dinaikkan dari Rp.800.000,- menjadi Rp.1.000.000,- tetapi dengan menaikkan produktivitas dari 100 unit per orang tenaga kerja menjadi 130 unit per orang tenaga kerja, harga produksi akan turun dari Rp, 8.000,- menjadi Rp. 7.695,-. Berarti bukan lebih mahal!!!.
Tambahan lagi, dengan menaikkan level upah sebesar Rp. 200.000.-/1 orang tenaga kerja per bulan untuk tenaga kerja yang berjumlah 45 juta jiwa, akan menaikkan daya beli pasar domestik sebesar Rp. 9 trilyun per bulan!!! Yang akan menjadi pertambahan pasar bagi dunia usaha.
Lalu bagaimana dengan kenaikan produktivitas? Bagaimana caranya agar berhasil menaikkan produktivitas?
Hal itulah yang haru menjadi tanggung jawab dari fungsi HR Management. Dan hal itulah yang ingin kami dorong menjadi kesaragaman paradigma bersama. Sekedar gambaran saja, pada pengalaman saya, perusahaan Jepang yang baru buka dan baru beroperasi di Indonesia, pada umumnya, produktivitasnya sudah lebih baik dari perusahaan lokal yang sudah lama beroperasi. Namun demikian, mereka masih menetapkan bahwa paling lambat dalam waktu 5 tahun, produktivitas mereka harus naik minimal 30%. Memantapkan produktivitas peralatan, lay out dan sistim produksi, mudah buat mereka. Yang sulit adalah memantapkan produktivitas tenaga kerja. Dan itu adalah merupakan bagian dari tanggung jawab HR Management.
Mengapa harus HR Management yang bertanggung jawab? Karena HR Management yang menjangkau semua sektor / fungsi atau bagian di dalam perusahaan. Dan memang, kalau kita menelisik lebih mendalam mengenai konsep Strategic HR Management, yang menjadi target dari HR Management adalah “memberikan kontribusi optimal untuk mendukung pencapaian target perusahan, melalui pengelolaan SDM didalam perusahaan” Janganlah menyebut diri sebagai Strategi HR Manager kalau tidak mampu menyusun dan melaksanakan strategi untuk itu.
Maka, kami ingin menyampaikan pesan kepada dunia usaha, janganlah menganggap remeh terhadap fungsi strategis dari HR Management. Sudah banyak fakta yang membuktikan, bahwa perusahan yang mampu berkembang menjadi perusahaan besar, adalah perusahaan yang memiliki budaya HR Management yang baik. Bahkan saya dapat menegaskan, bahwa pertumbuhan dunia usaha Jepang menjadi perusahaan berkelas dunia adalah karena partisipasi dari tenaga kerjanya, yang loyalitasnya tumbuh sebagai hasil dari konsep HR Management yang “bersahabat”. Maka, janganlah menempatkan sembarang orang pada posisi HR Manager. HR Manager harus mampu menjadi penggagas dan koordinator peningkatan “leadership” dan “produktivitas” di dalam perusahaan, bukan sekedar mengurusi administrasi personalia. Administrasi personalia cukup menjadi tugas para staff di bagian HR.
Konsep inilah yang ingin kami sosialisasikan di Indonesia, agar menjadi kesepahaman paradigma tentang HR Management. Dan bila hal ini berhasil, kami yakin bahwa Indonesia Incorporate yang tangguh akan tercipta. Bagaimana pendapat anda?
Read More...

Employee Engagement – Realistiskah?

Dewasa ini, kalangan praktisi HR Management semakin ramai membicarakan konsep Employee Engagement. Bahwa, dalam upaya meningkatkan “contribution value” tenaga kerja terhadap perusahaan, perusahaan harus mengupayakan agar karyawan “merasa engaged” bekerja pada perusahaan.
Berdasarkan uraian pada berbagai literatur, yang dimaksud dengan engaged adalah suatu sikap yang terbangun dari perasaan terikat (menikah) pada pekerjaan dan perusahaan, Dan untuk mencapai kondisi tersebut, perusahaan harus melakukan proses employee engagement, yaitu proses yang membuat agar karyawan merasa puas dan bangga pada pekerjaan dan perusahaan, dan dengan demikian berkomitment untuk bekerja secara antusias dalam mendukung pencapaian target perusahaan.

Pertanyaan yang menggelitik hati saya adalah, apakah konsep yang ditawarkan pada pemikiran Employee Engagement tersebut, reaslistis atau tidak? Apalagi ada embel embel yang mengatakan bahwa, hasil employee engagement survey yang dilakukan oleh konsultan eksternal telah menjadi prasyarat untuk mendapatkan Malcolm Badridge Award.
Sebagai key point yang terlebih dahulu harus dijawab oleh praktisi HR adalah, apa yang menjadi target perusahaan? Karyawan Engaged atau produktivitas (daya saing hasil produksi)? Sebab, apabila praktisi HR ingin menjadi mitra strategis perusahaan (strategic partner), maka yang menjadi fokus bagi praktisi HR tentu adalah kontribusi terhadap upaya dan proses pencapaian target bisnis tersebut. Maka pertanyaannya adalah, apakah kondisi karyawan engaged itu merupakan prasyarat awal (in put) atau hasil dari kondisi perusahaan sukses (out put)?. Apakah perusahaan akan mencapai keunggulan setelah karyawan merasa engagaed atau perusahaan harus unggul terlebih dahulu baru karyawan merasa engaged?
Apabila dikatakan bahwa hasil employee engagement survey yang dilakukan oleh konsultan eksternal telah menjadi prasyarat untuk mendapatkan Malcolm Baldridge, lalu, untuk apa program Malcolm Baldrige diadakan? dan untuk apa survey dilakukan? Untuk membuat masalah ini menjadi jelas, ada baiknya kita menelusuri latar belakang munculnya program Malcolm Baldrige Award tersebut, yang mulai digalakkan pada dekade tahun 80-an di Amerika Serikat oleh mantan Menteri Perdagangan AS, Malcolm Baldrige.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana situasi di Amerika Serikat pada dekade 80an. Amerika Serikat “marah” setelah barang barang hasil produksi industri Jepang mulai “merampas” pangsa pasar hasil produksi Amerika Serikat, di dalam pasar domestik Amerika Serikat sendiri. Bila mobil Honda dengan merek Acura mulai merangsek pasar Kanada, maka Toyota merebut 40% pangsa pasar automotive di Amerika Serikat. Terlebih lagi setelah Toyota berhasil memproduksi dan memasarkan Lexus, segera saja merebut pangsa pasar mobil mewah hasil industri Barat, seperti BMW, Mercedes, dan Chrysler.
Demikian pula dengan pasar barang barang elektronic di Amerika, barang barang eletronik hasil industri Jepang semakin mendesak barang barang elektronik hasil produksi Amerika Serikat sendiri.
Situasi tersebut telah membuat industri Amerika harus menurunkan produksinya, dan akibatnya adalah, perusahaan Amerika Serikat terpaksa mengurangi karyawan, dan jumlah pengangguran di Amerika Serikat semakin bartambah. Kondisi ini telah membuat ekonomi Amerika mengalami kesulitan dan masyarakat Amerika menjadi marah. Timbul kerusuhan massa, khususnya di Detroit, pusat industri automitive Amerika Serikat, mobil mobil bermerek Jepang dirusak dan dibakar.
Situasi ini membuat pemerintah Amerika Serikat tersentak kaget dan mulai bertanya tanya, mengapa Jepang yang pada tahun 1974 mengalami keos akibat krisis minyak, ternyata hanya dalam waktu sekitar 6 tahun, mampu mengalahkan barang barang produksi Amerika di pasar Amerika Serikat sendiri?.
Pejabat ekonomi Amerika Serikat memanggil konsultan Amerika Serikat yang dulu mengajari Jepang, yaitu W Edward Deming dan Joseph M Juran, meminta informasi untuk mencari tahu, apa yang dilakukan oleh dunia industri Jepang, sehingga mampu mengalahkan industri Amerika Serikat, bahkan perusahaan Amerika yang skala usaha dan investasinya lebih besar dibanding perusahaan Jepang.
Amerika Serikat lalu menuding Jepang bersikap pelit sehingga mampu menekan biaya produksi. Lalu, pemerintah Amerika Serikat menggugat Jepang agar lebih manusiawi terhadap karyawannya, memberi kesempatan berlibur yang lebih banyak bagi karyawan. Setelah itulah Jepang menerapkan Golden Week di Jepang, karyawan diliburkan selama 1 minggu setiap tahun. Dan sejak saat itulah turis Jepang mulai membanjiri pusat pusat wisata di seantero dunia, karena bagi orang Jepang pada saat itu, wisata ke luar negeri malah lebih murah dibandingkan dengan wsata di dalam negeri Jepang sendiri.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat melakukan penyelidikan dan penelitian langsung ke Jepang, akan tetapi, Prof. Jeffrey Likers yang melakukan penelitian ke pabrik Toyota Motor yang kemudian menerbitkan buku THE TOYOTA WAY, dan baru baru ini menerbitkan lagi buku THE TOYOTA CULTURE, adalah bukti bahwa para pakar manajemen Amerika Serikat telah berupaya mempelajari metode dan teknik Jepang untuk meningkatkan produktivitas, yang menyasar pada Quality, Cost and Delivery (QCD), ditambah dengan konsep product development, sebagaimana terlihat pada kemunculan mobil Lexus hasil produksi Toyota.
Demikian pula David Hutchin, yang memperkenalkan konsep manajemen produksi Just in Time, dan berikutnya memperkenalkan konsep Hoshin Kanri (Strategi Manajemen) ke dunia luar Jepang, khususnya di Amerika Serikat.
Slogan yang muncul di ruang publik Amerika Serikat pada waktu itu, If Japan Can, Why Can’t We? adalah merupakan indikasi yang jelas tentang “kekesalan” dan “penasaran” Amerika Serikat terhadap keberhasilan Jepang. Dan keberhasilan Jepang tersebut telah menjadi fokus perhatian publik di Amerika Serikat.
Saya tidak juga ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat “berguru balik” kepada Jepang yang sudah memiliki budaya perusahaan yang customer oriented, akan tetapi Amerika Serikat mulai menyadari bahwa mengandalkan keunggulan dalam aspek fungsional tertentu saja tidaklah cukup. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana semua elemen bisnis secara bersama-sama memberi nilai kepada pelanggan
Berdasarkan kesadaran itu pula, pemerintah Amerika Serikat mulai melakukan upaya untuk mendorong dunia usaha Ameriak Serikat agar melakukan perbaikan pada elemen elemen penting di dalam perusahaan, yang lebih dikenal dengan sebutan 7 kriteria Baldrige, yaitu:
1. Leadership
2. Strategi Planning
3. Customer and Market Focus
4. Measurement, analysis, and knowledge management.
5. Human Resources Focus
6. Process Management.
7. Bussines / Organizational Performance Results.
Sebagai upaya untuk meng-encourage dunia usaha Amerika Serikat, maka pemerintah Amerika Serikat mulai mengadakan program pemberian penghargaan, yang sejak tahun 1987 diberi nama Malcolm Baldige National Award (MBNA), diberikan kepada perusahaan perusahaan yang memiliki keunggulan pada ketujuh kriteria diatas.
Berikaitan dengan program pemberian penghargaan tersebut, pemerintah Amerika Serikat meminta bantuan konsultan, antara lain Burke dan Gallup, untuk melakukan pengukuran keunggulan perusahaan pada ketujuh kriteria tersebut.
Satu hal yang menjadi perhatian saya, bila ketujuh kriteria Malcolm Baldrige disusun berdasarkan hasil pengamatan di Jepang, maka saya menganggap bahwa mereka melakukan kelalaian yang sama dengan kelalaian para pakar atau pengamat non Jepang terhadap budaya kerja dan manajemen Jepang. Mereka terkecoh dengan tampilan luar (tatemae) perilaku Jepang, dan tidak sampai menemukan hakekat yang sesungguhnya (honne) dari budaya kerja dan prinsip manajemen Jepang.
Salah satu yang mungkin keliru adalah kriteria pertama dari kriteria Malcolm Baldrige tersebut, yaitu Leadership. Bahwa leadership di Jepang tidaklah sama dengan pemahaman leadership yang diajarkan secara umum di luar Jepang, akan tetapi kepemimpinan Jepang lebih bernuansa sebagai hubungan antara “kakak” (senior/sempai) dengan “adik” (junior/kohai) dalam bagian dari budaya Corporate Culture Jepang. Bahwa yang terlihat sebagai kekuatan Leadership di Jepang, adalah merupakan tatanan etika dalam masyarakat Jepang, bahwa “sempai” harus membimbing dan bertanggung jawab terhadap karir dan kehidupan “kohai” . Sebaliknya, tatanan etika masyarakat Jepang mengharuskan “kohai” harus hormat dan menjunjung “sempai”. Seandainya pun “sempai” tidak memiliki kompetensei atau perilaku baik, “kohai” harus menutupi “kelemahan” sempai. Dan “kohai” yang berusaha menunjukkan atau menonjolkan dirinya lebih baik dari “sempai”, adalah perilaku yang tidak etis dalam masyarakat Jepang. Prinsip tersebut berlaku sejak masa sekolah, sampai memasuki dunia kerja, tidak hanya di dalam dunia manufaktur, akan tetapi di dalam lingkungan pemerintahan dan organisasi non profit pun, prinsip itu berlaku.
Kemudian, berbarengan dengan pemberian penghargaan Malcolm Baldrige yang selalu diawali dengan pelaksanaan pengukuran (survey) yang dilakukan oleh para konsultan dengan latar belakang psikologi industri dan organsasi, lalu, dalam hal yang berkaitan dengan fokus HR Management (kriteria 5), pada tahun 1993, muncullah konsep employee engagement dalam literatur akademi. Konsep tersebut mengatakan bahwa sikap karyawan yang sudah engaged akan membuat perusahaan menjadi unggul,
Lagi lagi, saya tidak berani menyatakan bahwa pemikiran ini mungkin muncul sebagai suatu kesimpulan dari pengamatan atas budaya kerja orang Jepang. Akan tetapi, slogan yang marak dibicarakan di Amerika waktu itu, yang mengatakan If Japan Can, Why Can’t We?, serta gambaran yang diajukan sebagai gambaran dari karyawan engaged adalah gambaran dari sikap tenaga kerja Jepang sejak tahun 80-an, menimbulkan indikasi bahwa pemikiran yang muncul pada konsep employee engagement, ada kemungkinan merupakan suatu asumsi setelah melakukan pengamatan “mengapa Jepang bisa lebih unggul?”.
Dan, bila survey atau penelitian tentang perilaku tenaga kerja dilakukan di Jepang setelah memasuki tahun 80-an, untuk mencari tahu bagaimana peran tenaga kerja yang membuat industri Jepang bisa lebih unggul, saya yakin bahwa mereka pasti mendapat gambaran yang salah pula.
Ada dua hal yang menjadi pertanyaan krusial terhadap konsep employee engagement ini, yaitu:
1. Apakah sikap engaged merupakan prasyarat awal untuk membuat perusahaan menjadi unggul, atau perusahaan unggul dulu baru karyawan merasa engaged?
2. Apakah sikap engaged ini muncul hanya bila karyawan merasa puas terhadap pekerjaan dan perusahaan?
Sikap dan perilaku tenaga kerja Jepang memasuki tahun 1980, justru sudah mulai berubah setelah keberhasilan industri Jepang, membuat tenaga kerja Jepang merasa bangga dan puas. Dengan kepuasan yang mereka mulai rasakan, tenaga kerja Jepang malah mulai manja, tidak mau lagi bekerja pada perusahaan yang kondisi kerjanya mengandung 3 K, yaitu Kitsui, Kitanai dan Kiken. Sejak itu, pabrik pabrik yang proses kerjanya kotor, sulit atau berbahaya, semakin sulit mendapatkan tenaga kerja. Fresh graduate Jepang pada waktu melamar pekerjaan, mulai memilih perusahaan yang memiliki cabang di luar negeri, agar mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk bertugas di luar negeri Jepang.
Bahwa keberhasilan industri Jepang memasuki dekade 80-an, sebenarnya adalah hasil dari sikap kerja para tenaga kerja sebelum memasuk dekade 80-an. Maka, bila ingin melakukan penelitian terhadap faktor yang membuat keberhasilan industri Jepang setelah memasuki tahun 80-an, seharusnya penelitian dilakukan pada masa masa sebelum tahun 80-an.
Bahwa keberhasilan industri Jepang yang terlihat pada dekade 80-an, adalah merupakan hasil dari sikap tenaga kerja Jepang sebelum memasuki dekade 80-an, sedangkan sikap yang terlihat setelah memasuki dekade 80-an adalah sikap yang terbentuk setelah industri Jepang berhasil dan mampu bersaing dengan industri Barat, maka sesungguhnya, sikap engaged tenaga kerja Jepang pada era sebelum memasuki dekade 80-an, bukanlah karena kepuasan kerja, akan tetapi karena mereka memiliki harapan bersama (satu harapan) dan sikap saling percaya antara karyawan dengan majikan, sebagai hasil dari budaya hubungan kerja (industrial relation) yang lebih bersifat kekeluargaan (corporate family). Dan itulah yang merupakan hasil dari budaya kepemimpinan dan manejemen Jepang.
Memang, Amerika Serikat harus diakui kedigdayaannya dalam hal penemuan teknologi baru. Dan bisnis mereka pun berkembang pesat adalah karena pada masa awal teknologi baru tersebut diaplikasikan dalam bisnis, mereka belum menghadapi persaingan, bahkan cenderung memonopoli,
Akan tetapi dalam hal kinerja manufaktur atau produktivitas tenaga kerja, Amerika Serikat ternyata masih harus belajar pada Jepang yang mampu unggul menghadapi persaingan yang sangat ketat. Jepang merebut “hati” pasar, bukan hanya fokus pada kompetisi harga, akan tetapi juga dalam hal kualitas serta layanan purna jual, yang telah diperlihatkan dengan program product liability.
Maka, bila kita memang ingin membuat agar karyawan di perusahaan merasa engaged, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja bisnis, apakah kita akan belajar ke Amerika yang sesungguhnya malah belajar kepada Jepang?. Atau, bukankah lebih tepat bila kita belajar langsung dari konsep dan gaya Jepang?

Read More...