Membaca judul diatas, mungkin saja banyak yang kaget. Pekerja kalau bisa diupah murah, kok menjadi bumerang bagi dunia usaha?. Sudah sejak lama, yang menjadi paradigma umum di Indonesia adalah, bahwa agar perusahaan mampu bersaing, harus menekan biaya tenaga kerja (labor cost), dan untuk itu kalau bisa, upah pekerja harus ditekan semurah mungkin. Paradigma ini bisa diterima dan menjadi keyakinan umum, adalah karena pada umumnya dunia usaha kita masih terbiasa berpikir untuk kepentingan sendiri-sendiri, jarang yang berpikiran luas pada saat berhadapan dengan perbedaan kepentingan. Terlebih lagi, sejak masa awal digalakkannya promosi penenaman investasi di Indonesia, yang menjadi slogan yang ditawarkan adalah buruh upah murah di Indonesia, Tetapi saya mau mengajak kita semua untuk berpikir, apakah memang benar demikian?
Mari kita merenung sejenak. Menurut data Kemnaker trans RI, jumlah tenaga kerja di Indonesia sekarang ini ada sekitar 45 juta jiwa, dan bila setiap tenaga kerja secara rata rata harus menghidupi 2 orang anggota keluarga, yaitu istri dan 1 orang anak, maka jumlah penduduk yang hidupnya tergantung pada upah adalah sekitar 135 juta jiwa. Seandainya seluruh pekerja di Indonesia mau bekerja tanpa diberi upah, hanya diberi makan saja, apa yang bakal terjadi?. Daya beli pasar domestik menjadi rendah!. Dalam keadaan demikian, siapa yang akan mengalami kesulitan? Siapa yang akan membeli barang-barang hasil industri? Inilah yang harus kita cermati!.
Agar menjadi lebih jelas, mari kita telusuri, apa saja yang akan terjadi, apabila kita tetap mempertahankan konsep pekerja upah murah.
1. Daya beli pasar domestik menjadi rendah à tingkat penjualan (sales omzet) produsen (industri dan bahkan petani) menjadi rendah.
2. Ditinjau dari teori Abraham Maslow, level kehidupan pekerja hanya pada level mampu bertahan hidup dan tidak mencapai level aktualisasi diri à produktivitas dan kreatifitas akan menjadi hal yang jauh dari pikiran pekerja à produktivitas rendah.
3. Moral masyarakat pekerja menjadi rendah à disiplin kerja rendah à kriminalitas akan meningkat.
4. Kemampuan pekerja dan petani untuk menyekolahkan anak menjadi rendah à tingkat intelektualitas angkatan kerja menjadi rendah à dunia usaha akan kesulitan memperoleh calon tenaga kerja terdidik.
5. Pekerja dan petani tidak akan berempati kepada dunia usaha à potensi konflik sosial cenderung akan meningkat.
Kalau kia melakukan analisa lebih lanjut dari seluruh kecenderungan diatas, maka yang terjadi adalah siklus menurun dari pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha, yaitu sebagai berikut:
Daya beli pasar domestik menurun à Sales omzet menurun à Produksi diturunkan à Lapanan kerja berkurang à Tingkat pendapatan semakin menurun à Daya beli pasar domestik semakin menurun à Sales omzet semakin menurun à Dunia usaha bangkrut à Krminalitas meningkat à akhirnya akan terjadi kekacauan sosial (keos).
Kesimpulannya, bila kita tetap mempertahankan paradigma untuk menekan level upah pekerja, maka yang terjadi adalah tekanan terhadap pertumbuhan dunia usaha dan tentu pada akhirnya akan menghancurkan ekonomi negara.
Lalu apa yang harus dilakukan?. Menaikkan level upah?
Memang level upah harus dinaikkan, tetapi menaikkan upah tidak boleh sembarangan. Sebab, level upah yang naik drastis atau terlalu besar, akan mendorong kenaikan inflasi yang tidak terkendali dan pada akhirnya yang terjadi adalah keos ekonomi.
Level upah harus dinaikan terbatas sampai pada level dimana pekerja mampu menyekolahkan anaknya dengan baik, mampu membeli peralatan rumah tangga hasil industri, dan kemampuan menabung sebagai kompensasi uang pesangon. Apabila hal itu dilakukan secara simultan, maka daya beli pasar domestik akan meningkat, dunia usaha dapat berpikir untuk meningkatkan kapasitas produksi à lapangan kerja bertambah à GNP meningkat à tingkat intelektualitas angkatan kerja semakin baik à tingkat kriminalitas menurun à pertumbuhan ekonomi akan lebih mampu mensejahterahkan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan daya saing perusahaan? Bukankah menaikkan level upah akan membuat harga barang produksi meningkat?
Pada poin inilah ada kekeliruan pradigma, menganggap bahwa level upah otomatis akan menjadi harga produksi, padahal sebenarnya tidak. Masih ada hal lain yang mempengaruhi harga produksi. Tapi mari kita lihat, apakah level upah akan otomatis menjadi harga produksi atau tidak.
Pertama.
Mari kita menyimak negara maju, misalnya Jepang sebagai studi banfing. Tingkat pendapatan (upah) yang menjadikan masyarakat mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, akan menghasilkan angkatan kerja terdidik dalam jumlah besar. Dengan demikian, level upah untuk tenaga terdidik cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan kesenjangan upah di Jepang, antara tenaga terdidik (sarjana) dengan tenaga kurang terdidik (paling tinggi SLTA), tidak terlalu jauh, bahkan hampir sama. Lebih lanjut, kesenjangan upah diantara level jabatan yang berbeda pun tidak terlalu jauh. Level upah antara karyawan biasa (operator) dengan Manager hanya 1 : 2 dan operator dengan General Manager hanya 1 : 3. Artinya, akan terjadi pergeseran biaya tenaga kerja, bila biaya tenaga kerja untuk level bawah dinaikkan, akan mengakibatkan biaya tenaga kerja untuk level atas menurun. Sehingga secara keseluruhan, menaikkan upah pada level bawah, tidak otomatis menaikkan total biaya tenaga kerja sebesar seperti yang dikuatirkan oleh banyak pengusaha. Dan bila kesenjangan upah tersebut dapat diturunkan, hal itu akan mampu menyurutkan kecemburuan sosial, dan secara logika, moral manusia akan menjadi lebih baik.
Dan satu lagi yang ingin saya sampaikan. Karena tingkat upah di Jepang dipelihara pada tingkat daya beli yang baik, maka dunia usaha Jepang tetap bisa survive dengan mengandalkan pasar domestik, walau mereka mengalami kesulitan di pasar export. Hal ini didukung juga oleh perilaku masyarakat (konsumen) Jepang, yang be-empati dan selalu mendukung dunia usaha dalam negeri mereka. Mereka sadar bahwa mereka harus mendukung dunia usaha dalam negeri, karena itulah lapangan kerja mereka. Bukan seperti di Indonesia, yang lebih bangga bila mampu membeli produk luar negeri.
Dan di Indonesia, mungkin ada aspirasi yang tidak menginginkan kesenjangan upah diturunkan, karena aspirasi yang menginginkan hidupnya harus jauh lebih “wah” terhadap orang lain, aspirasi itu adalah aspirasi dari paradigma feodalis, dan hal itu seyogyanya harus dfihilankgn.
Kedua.
Harga produksi dapat diturunkan dengan meningkatkan produktivitas. Contohnya sebagaimana tabel dibawah.
Tenaga Kerja 45 juta orang | Tingkat Upah | Produktivitas | Biaya per unit |
Kondisi I | Rp. 800.000.- | 100 | Rp. 8.000.- |
Kondisi II | Rp. 1.000.000.- | 130 | Rp. 7.695.- |
Perbedaan | + Rp. 200.000.- | + 30 | - Rp. 305.- |
Makna yang tersirat dari tabel diatas adalah, walaupun level upah dinaikkan dari Rp.800.000,- menjadi Rp.1.000.000,- tetapi dengan menaikkan produktivitas dari 100 unit per orang tenaga kerja menjadi 130 unit per orang tenaga kerja, harga produksi akan turun dari Rp, 8.000,- menjadi Rp. 7.695,-. Berarti bukan lebih mahal!!!.
Tambahan lagi, dengan menaikkan level upah sebesar Rp. 200.000.-/1 orang tenaga kerja per bulan untuk tenaga kerja yang berjumlah 45 juta jiwa, akan menaikkan daya beli pasar domestik sebesar Rp. 9 trilyun per bulan!!! Yang akan menjadi pertambahan pasar bagi dunia usaha.
Lalu bagaimana dengan kenaikan produktivitas? Bagaimana caranya agar berhasil menaikkan produktivitas?
Hal itulah yang haru menjadi tanggung jawab dari fungsi HR Management. Dan hal itulah yang ingin kami dorong menjadi kesaragaman paradigma bersama. Sekedar gambaran saja, pada pengalaman saya, perusahaan Jepang yang baru buka dan baru beroperasi di Indonesia, pada umumnya, produktivitasnya sudah lebih baik dari perusahaan lokal yang sudah lama beroperasi. Namun demikian, mereka masih menetapkan bahwa paling lambat dalam waktu 5 tahun, produktivitas mereka harus naik minimal 30%. Memantapkan produktivitas peralatan, lay out dan sistim produksi, mudah buat mereka. Yang sulit adalah memantapkan produktivitas tenaga kerja. Dan itu adalah merupakan bagian dari tanggung jawab HR Management.
Mengapa harus HR Management yang bertanggung jawab? Karena HR Management yang menjangkau semua sektor / fungsi atau bagian di dalam perusahaan. Dan memang, kalau kita menelisik lebih mendalam mengenai konsep Strategic HR Management, yang menjadi target dari HR Management adalah “memberikan kontribusi optimal untuk mendukung pencapaian target perusahan, melalui pengelolaan SDM didalam perusahaan” Janganlah menyebut diri sebagai Strategi HR Manager kalau tidak mampu menyusun dan melaksanakan strategi untuk itu.
Maka, kami ingin menyampaikan pesan kepada dunia usaha, janganlah menganggap remeh terhadap fungsi strategis dari HR Management. Sudah banyak fakta yang membuktikan, bahwa perusahan yang mampu berkembang menjadi perusahaan besar, adalah perusahaan yang memiliki budaya HR Management yang baik. Bahkan saya dapat menegaskan, bahwa pertumbuhan dunia usaha Jepang menjadi perusahaan berkelas dunia adalah karena partisipasi dari tenaga kerjanya, yang loyalitasnya tumbuh sebagai hasil dari konsep HR Management yang “bersahabat”. Maka, janganlah menempatkan sembarang orang pada posisi HR Manager. HR Manager harus mampu menjadi penggagas dan koordinator peningkatan “leadership” dan “produktivitas” di dalam perusahaan, bukan sekedar mengurusi administrasi personalia. Administrasi personalia cukup menjadi tugas para staff di bagian HR.
Konsep inilah yang ingin kami sosialisasikan di Indonesia, agar menjadi kesepahaman paradigma tentang HR Management. Dan bila hal ini berhasil, kami yakin bahwa Indonesia Incorporate yang tangguh akan tercipta. Bagaimana pendapat anda?
Read More...