Human Insani

Human Insani

UU & Regulasi

UU & REGULASI ( SERIKAT PEKERJA )

PHI

UPAH

K3 & Jamsostek

Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi - Part II


Pendahuluan
Pada bagian pertama, kita telah membahas proses pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi dari segi konseptual dan praktis melalui pembagian kompetensi jabatan dan proses penyusunan elemen Core dan Technical Competency. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal penting yang perlu kita ketahui agar proses pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi tersebut dapat mencapai tujuannya sehingga organisasi maupun orang-orang yang di dalamnya dapat merasakan manfaatnya. Pada bagian II ini, kita akan membahas mengenai bagaimana caranya melakukan pengukuran kompetensi jabatan dan proses penyusunan program pengembangan kompetensi karyawan berdasarkan hasil pengukuran tersebut, baik melalui program training, coaching, dan atau counseling karyawan hingga proses penyusunan program karir karyawan.
Proses Pengkuran Kompetensi Jabatan


Pembentukan Tim Kerja
Salah satu tujuan disusunnya kebijakan tentang pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi adalah sebagai dasar bagi HRD untuk menyusun program pengembangan kompetensi dan karir karyawan (Individual Development Plan (IDP) dan Individual Career Path/Plan (ICP)) berdasarkan hasil pengukuran kompetensi yang dibandingkan dengan persyaratan pada kompetensi jabatan yang dipegangnya. Untuk itu sebelum menyusun program pengembangan karyawan, maka yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah pengukuran level kompetensi untuk dapat menggambarkan peta kompetensi (competency mapping) seluruh karyawan sehingga HRD dapat menentukan arah pengembangan karir karyawan berdasarkan kompetensinya tersebut agar dapat sesuai dengan kompetensi jabatan atau melalui program transfer/mutasi ke jabatan yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki karyawan. Proses pengembangan karir dengan dua arah seperti ini akan sangan menguntungkan baik bagi karyawan itu sendiri maupun bagi perusahaan untuk dapat meningkatkan produktivitas dalam pekerjaan.

Contoh ukuran kompetensi (Core dan Technical) yang digunakan dalam bahasan kali ini adalah dengan menggunakan empat (4) level (tingkatan), yaitu:



1. Level 1: Belum mampu melaksanakan pekerjaan tersebut.
2. Level 2: Mampu membantu pelaksanaan pekerjaan tersebut.
3. Level 3: Mampu melaksanakan pekerjaan dengan masih harus diberi petunjuk terlebih dahulu (diawasi dan dibimbing).
4. Level 4: Mampu melaksanakan pekerjaan tersebut tanpa pengawasan.

Kriteria-kriteria kebutuhan untuk ukuran Core Competency dan Technical Competency didefinisikan disusun ke dalam satu Form Penilaian Kompetensi yang dapat disusun sesuai dengan kebutuhan organisasi. Isian dalam form-form tersebut dijadikan pedoman bagi setiap pemegang jabatan untuk dapat menentukan prioritas kompetensi apa yang ingin ditunjukkannya selama memegang jabatan tersebut sehingga pada saat dilakukan pegukuran kompetensi, maka pemegang jabatan yang bersangkutan akan dinilai dengan nilai minimal sama dengan level kompetensi yang ditetapkan. Namun demikian, pemegang jabatan dapat memperoleh nilai di atas level kompetensi tersebut sesuai dengan hasil penilaian dari tim terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh pemegang jabatan (karyawan) yang bersangkutan.

Adapun pada saat pengukuran perlu diingat bahwa perlunya dibentuk tim penilai yang terdiri dari HRD, atasan langsung, dan atasan berikutnya, serta Supporting Department yang satu level dengan tim penilai tersebut. Hal ini diperlukan untuk menjamin objektivitas pengukuran kompetensi karyawan yang akan dibandingkan dengan kompetensi jabatannya. Namun demikian, apabila diperlukan anggota tim dapat berasal dari pihak luar seperti konsultan pengembangan SDM sebagai pihak yang akan memberikan second opinion dalam menilai kompetensi karyawan.

Pembagian Wewenang dan Tanggung Jawab dalam Tim Kerja
Tim yang dibentuk terdiri dari beberapa pihak yang tentu memiliki peran-peran yang berbeda namun tetap saling berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu, wewenang dan tanggung jawab masing-masing pihak yang terlibat harus memahami dengan jelas faktor-faktor berikut ini.

1. Tingkatan (Level) Pengukuran
Pada bagian ini dijelaskan pembagian level jabatan yang diukur dengan jabatan yang melakukan pengukuran serta atasan dari pemegang jabatan yang melakukan pengukuran tersebut sebagai pihak yang berwenang untuk mengesahkan hasil pengukuran. Dalam kondisi tertentu, telah dijelaskan bahwa atasan dapat mengambil kebijakan pengukuran kompetensi dilakukan oleh pihak luar (konsultan atau biro psikologi) yang memenuhi kualifikasi yang baik dan terpercaya. Dengan adanya pihak luar tersebut, maka posisi pejabat pengukur digantikan oleh pihak konsultan dengan catatan menggunakan kriteria ukuran-ukuran yang telah ditetapkan sebelumnya. Pihak konsultan diberdayakan dalam proses penilaian dan pengukuran kompetensi agar dihasilkan nilai (ukuran) yang lebih objektif. Namun demikian, keterlibatan dari para atasan langsung pemegang jabatan tetap dan atasan pejabat pengukur tetap diperlukan, misalnya memberikan informasi-informasi yang dinilai perlu sebagai bahan pertimbangan bagi pihak konsultan.

2. Wewenang dan tanggung jawab Tim Kerja
Tim kerja merupakan kumpulan dari beberapa pihak yang secara sengaja dibentuk oleh unit organisasi agar proses identifikasi, diskusi, penetapan level Core Competency, penyusunan dan penetapan level kebutuhan elemen Tecnical Competency, penilaian, pengukuran gap, identifikasi penyebab gap, dan penyusunan rekomendasi pemenuhan gap dapat terkoordinasi dengan baik dan berjalan dengan lancar.
Keberadaan tim ini sangat dibutuhkan agar selama pelaksanaan program pengelolaaan SDM berbasis kompetensi ini sesuai dengan arah tujuan perusahaan dalam mengembangkan SDM untuk meningkatkan produktivitas organisasi. Masing-masing jabatan yang tergabung dalam tim kerja sangat perlu untuk mengetahui apa yang menjadi wewenang dan tanggung jawabnya agar pada saat melaksanakan penilaian semua pihak dapat saling bekerja sama dengan harmonis dan bersinergi.

Pengkuran Kompetensi Jabatan
Adapun form yang digunakan sebagai pedoman (standar) ukuran kompetensi jabatan bagi tim penilai adalah deskripsi kebutuhan level Core Competency dan Technical Competency yang dapat disusun secara sederhana namun mencakup semua kriteria-kriteria penilaian. Tim penilai yang dibentuk melakukan penilaian kompetensi karyawan dengan menggunakan form-form yang telah disepakati bersama. Dengan menggunakan form tersebut, diharapkan dapat diukur perbandingan level yang dibutuhkan dengan kondisi aktual (kompetensi karyawan). Ukuran perbandingan ini lah yang akan menjadi ukuran ‘gap’ atau kesenjangan kompetensi.

Dalam melakukan pengukuran kompetensi jabatan perlu diingat bahwa tim harus melakukan koordinasi dan diskusi untuk membangun komunikasi yang baik di antara anggota tim. Dengan adanya komunikasi yang baik, maka arah dan tujuan dari program penilaian dan pengukuran gap kompetensi jabatan dapat tercapai dengan baik. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan pengukuran kompetensi karyawan, yaitu:

1. Tim membandingkan dengan cermat dan objektif antara kompetensi karyawan dengan kompetensi jabatan yang telah ditetapkan dalam Job Profile.
2. Tim melakukan analisis secara bersama terhadap perbedaan antara kompetensi karyawan dengan kompetensi jabatan sehingga diketahui dengan jelas besar gap (kesenjangannya).
3. Tim memberikan tanda (penunjuk atau lainnya) pada level kompetensi sesuai dari hasil analisis tersebut sehingga dapat terlihat jelas perbedaan kompetensi karyawan aktual dengan kompetensi jabatan yang seharusnya dipenuhi.
4. Tim melakukan identifikasi penyebab terjadinya gap (kesenjangan) kompetensi karyawan dengan kompetensi jabatan sehingga diperoleh informasi penyebab timbulnya kesenjangan dan selanjutnya tim menyusun alternatif-alternatif kepada HRD untuk meningkatkan gap kompetensi karyawan tersebut melalui program training, coaching, atau counselling dan atau menyusun program mutasi atau promosi apabila gap yang muncul ternyata menunjukkan kompetensi karyawan yang berada di atas kompetensi jabatannya atau karyawan yang bersangkutan cocok untuk ditempatkan pada jabatan lain yang sesuai dengan kompetensinya.
5. HRD meneruskan hasil pengukuran kompetensi tersebut kepada para pimpinan untuk disahkan sebagai acuan dalam penyusunan program pembinaan dan pengembangan karir karyawan (IDP dan ICP).


Peningkatan Kompetensi Karyawan
Menemukan gap (kesenjangan) kompetensi merupakan faktor yang menjadi perhatian utama dalam proses pengelolaan SDM berbasis kompetensi. Dengan diketahuinya gap kompetensi tersebut, maka akan diperoleh informasi SDM yang mampu untuk bekerja sesuai dengan tuntutan kompetensi jabatan dalam organisasi. Selain itu, faktor penting yang menjadi salah satu tujuan pengelolaan SDM berbasi kompetensi adalah sebagai dasar bagi HRD untuk menyusun program pengembangan kompetensi dan karir karyawan IDP dan ICP berdasarkan hasil pengukuran kompetensi yang dibandingkan dengan persyaratan pada kompetensi jabatan yang dipegangnya. Program-program peningkatan kompetensi yang dapat direncanakan untuk meningkatkan kompetensi karyawan tersebut adalah dengan menyusun rencana prorgam training, coaching, dan atau counseling sehingga melalui program-program tersebut kompetensi karyawan dapat ditingkatkan sesuai dengan tuntutan kompetensi jabatannya.

Jika seorang karyawan telah dapat memenuhi kompetensi jabatannya, maka karyawan memiliki kesempatan untuk dapat dimasukkan ke dalam program pengembangan karir, misalnya melalui program promosi, mutasi, atau rotasi. Namun, jika ditemukan bahwa karyawan tersebut belum dapat memenuhi tuntutan kompetensi jabatannya sesuai meskipun telah mengikuti program-program peningkatan kompetensi sesuai dengan IDP-nya, maka dapat diambil kebijakan untuk melakukan program demosi kepada karyawan dengan tujuan untuk melatih kembali karyawan tersebut untuk memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatannya. Beberapa kebijakan mengenai penyusunan program IDP karyawan melalui penyusunan program training, coaching, dan counseling akan diuraikan dengan rinci pada subbagian-subbagian berikut ini.

Program IDP – Training
Metodologi Training
Program training merupakan salah satu program yang dimasukkan ke dalam program IDP karyawan dalam rangka pemenuhan gap kompetensi yang disebabkan kurangnya pengetahuan baik teknis (Technical Competency) maupun strategis (Core Competency) karyawan dalam bekerja. Untuk itu, dalam rencana program IDP-nya karyawan tersebut diberikan program training di kelas dan atau On The Job Training. Beberapa jenis metodologi dalam pelaksanaan training sesuai dengan kebijakan dari perusahaan, yaitu:

1. Class Training
Class Training merupakan serangkaian kegiatan training yang diikuti oleh karyawan melalui kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Kelas training diutamakan untuk diselenggarakan di lingkungan internal perusahaan dengan sumber daya internal sesuai dengan pertimbangan dari HRD terhadap sarana, fasilitas, ketersediaan trainer dari perusahaan. Jika tidak memungkinkan, maka program Class Training dapat dilakukan di lingkungan eksternal perusahaan atau dapat juga dengan mendatangkan trainer dari luar (perguruan tinggi, konsultan, atau perusahaan lain) untuk memberikan training di kelas yang dimiliki perusahaan.

2. On The Job Training (OJT)
On The Job Training (OJT) merupakan program training yang diikuti oleh karyawan yang dilaksanakan langsung di tempat kerja dengan instruktur/pembimbing dari unit kerja tempat dilaksanakannya OJT. Tujuan dari pelaksanaan program OJT adalah lebih spesifik dibandingkan dengan program Class Training dan umumnya berkaitan dengan sifat teknisnya suatu pekerjaan sehingga diharapkan trainer yang akan memberikan materi training juga didatangkan dari lingkungan internal perusahaan. Namun demikian, apabila kondisi tidak memungkinkan dapat diambil kebijakan untuk mendatangkan trainer dari lingkungan eksternal perusahaaan.

Peserta, Trainer/Instruktur, dan Waktu dan Tempat Pelaksanaan Training
Beberapa komponen utama yang perlu dipersiapkan adalah para peserta, trainer/instruktur, dan waktu dan tempat pelaksanaan training sehingga program training yang direncanakan dapat berjalan dengan baik dan memenuhi target kompetensi jabatan yang harus dipenuhi oleh calon peserta yang bersangkutan. Sedangkan untuk komponen-komponen pendukung lainnya dapat diatur secara tersendiri sesuai dengan kebutuhan yang ada.

1. Peserta
Peserta training adalah berasal dari seluruh karyawan yang diukur kompetensinya dan perlu untuk ditingkatkan lagi sesuai dengan IDP-nya. Seluruh peserta training akan mendapat prioritas dalam mengikuti program training sesuai dengan kebijakan perusahaan.

2. Trainer/Instruktur
Trainer/Instruktur merupakan bagian penting dan harus dipertimbangkan oleh perusahaan dan diutamakan untuk didatangkan dari internal perusahaan. Trainer/Instruktur diharapkan adalah orang yang telah memahami materi training dan mampu untuk memberikan training untuk memenuhi kebutuhan peningkatan Core Competency maupun Technical Competency karyawan. Jika trainer dari internal perusahaan tidak ada atau belum tersedia, maka dapat dilakukan kerja sama dengan pihak ketiga baik dari perguruan tinggi maupun konsultan sesuai dengan kesepakatan yang ada.

3. Waktu dan tempat pelaksanaan training
Waktu training harus diatur dan disusun secara sistematis dan terjadwal untuk setiap jenis training dan disampaikan ke semua pihak yang terkait untuk dijadikan pedoman bagi para pimpinan untuk mempersiapkan peserta training yang telah ditetapkan oleh HRD. Tempat pelaksanaan training diutamakan dilaksanakan di Training Center perusahaan dan apabila tidak memungkinkan, maka dapat menggunakan fasilitas di luar Training Center dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Program IDP – Coaching
Metodologi Coaching
Program Coaching sebagai salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan kompetensi karyawan diutamakan untuk kompetensi-kompetensi teknis melalui pendekatan-pendekatan belajar dan bekerja dengan dibimbing oleh atasan langsung karyawan yang bersangkutan. Peserta Coaching terdiri dari satu orang karyawan atau lebih sesuai dengan hasil identifikasi gap (kesenjangan) kompetensi yang membutuhkan peningkatan keterampilan dan hasilnya langsung bisa dirasakan, maka karyawan tersebut dimasukkan ke dalam program coaching. Adapun uraian program coaching setiap karyawan harus direkam/dicatat dengan baik dalam program IDP-nya masing-masing.

Dalam menyusun program coaching, materi yang diberikan harus bersifat operasional, spesifik, dan berorientasi pada peningkatan keterampilan yang terukur dengan perbandingan teori dengan praktek berkisar 20:80. Selain itu, metodologi coaching dilakukan dengan metode pendampingan langsung Pembimbing/Pelatih/Cocah terhadap karyawan yang akan ditingkatkan keterampilannya.

Pembimbing/Pelatih/Coach, Waktu dan Tempat Pelaksanaan Coaching, dan Evaluasi Hasil Coaching
Pembimbing/Pelatih/Coach adalah atasan langsung karyawan, namun jika dengan pertimbangan yang logis atasan langsung karyawan belum dapat memberikan program coaching (karena alasan waktu, ketersediaan materi, dll) maka coach dapat diambil dari unit kerja atau institusi atau lembaga yang dipandang lebih profesional untuk melatih karyawan yang bersangkutan. Program coaching yang diikuti karyawan dapat dilaksanakan selama 1 minggu sampai dengan 3 bulan disesuaikan dengan kebutuhan yang realistis dengan mempertimbangkan tingkat risiko dan kesulitan yang ada.

Adapun tempat pelaksanaan coaching sebaiknya dilakukan di tempat kerja sehingga karyawan yang sedang mengikuti program coaching terbiasa dengan situasi dan kondisi yang ada dan lebih mudah dalam menyerap materi coaching dengan efektif.

Evaluasi hasil coaching dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Pre test (Evaluasi awal) untuk mengetahui tingkat kesenjangan sebagai bahan masukan bagi pembimbing/pelatih.
2. Mid test (Evaluation in Process) untuk mengetahui progress (perkembangan) pencapaian penyerapan materi dan keterampilan yang diberikan.
3. Post test (Evaluasi Pasca Coaching) untuk mengetahui tingkat keberhasilan program coaching dapat diterapkan dan diimplementasikan di lapangan/tempat kerja dengan mengukur kembali keterampilan karyawan.


Program IDP – Counseling
Metodologi Counseling
Program Counseling merupakan salah satu program yang dimasukkan ke dalam program IDP karyawan yang diutamakan untuk membina sikap dan perilaku karyawan, baik yang disiapkan untuk promosi/mutasi jabatan maupun perilaku karyawan yang bertentangan dengan kaedah noramtif dan sosial. Pelaksanaan program counseling dikoordinasikan oleh HRD yang dalam hal ini akan mengumpulkan data karyawan yang diprogramkan mengikuti program counseling tersebut dan menghubungi atasan langsung karyawan yang bersangkutan terkait dengan keikutsertaan bawahannya dalam program tersebut.

Selanjutnya, HRD mengidentifikasi apakah counselor berasal dari internal perusahaan atau tidak. Adapun materi, sarana, prasarana, counselor, jadwal pelaksanaan counseling, dan budget-nya disusun oleh HRD sesuai dengan ketentuan yang ada. Peserta Counseling dihubungi oleh HRD mengenai tempat dan jadwal pelaksanaan program counseling. Counselor yang dalam hal ini adalah psikolog eksternal dan akan memberikan bimbingan bagi karyawan dapat didatangkan langsung ke lokasi atau pun dengan pertimbangan yang logis, maka karyawan yang menjadi peserta program counselling akan dikirimkan ke lokasi tertentu sesuai kesepakatan dengan pihak counselor. Namun demikian, jika perusahaan memiliki sumber daya manusia seperti psikolog yang mampu untuk menjadi counselor, maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan sumber daya internal perusahaan dengan tetap menjaga etika profesinya sebagai counselor.

Laporan Akhir Pelaksanaan Program Peningkatan Kompetensi Karyawan
Program peningkatan kompetensi yang dilakukan melalui tiga program, yaitu Training, Coaching, dan Counseling yang telah dilaksanakan harus dievaluasi sesuai dengan pembagian wewenang dan tanggung jawab yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab tersebut, maka karyawan yang dalam hal ini adalah pihak yang diukur kompetensinya dan mengikuti program peningkatan kompetensi diharapkan dapat dipantau perkembangannya oleh atasan langsung dan HRD sehingga dapat memberikan kejelasan terhadap kesinambungan pelaksanaan program.

Oleh karena itu, setiap karyawan diwajibkan untuk membuat laporan pelaksanaan program peningkatan kompetensi yang diikutinya dan memberikan presentasi kepada atasan langsungnya dan atau HRD sehingga dapat diukur indikator keberhasilan terlaksananya program-program yang telah dirancang untuk kesinambungan operasional perusahaan. Laporan yang dibuat dapat berisi pengalaman karyawan selama menjadi peserta, yaitu:

1. Pelajaran-pelajaran apa yang diperolehnya atau testimonial setelah mengikuti program peningkatan kompetensi.
2. Strategi dan rencana yang akan diterapkan di tempat kerjanya untuk mengimplementasikan kompetensi-kompetensi baru yang diperolehnya setelah mengikuti program tersebut.
3. Saran-saran yang ditujukan untuk mengembangkan program peningkatan kompetensi sehingga program-program yang disusun di waktu yang akan datang memenuhi kebutuhan yang lebih spesifik bagi perusahaan.


Proses penyusunan laporan akhir dan presentasi tersebut sangat dibutuhkan sehingga tujuan utama dari pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi ini, yaitu agar semua jabatan di dalam organisasi berfungsi sebagaimana mestinya dapat tercapai dan memberikan manfaat-manfaat yang strategis bagi perusahaan.

Pada bagian terakhir ini, perlu saya tekankan bahwa proses pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi harus dilandaskan pada konsep yang matang dan disusun dengan program yang berkesinambungan agar tujuan dan manfaat yang diperoleh dapat berdampak untuk kebutuhan jangka panjang organisasi. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi-fungsi kerja di dalam perusahaan dan kerja sama tim sangat dibutuhkan supaya kendala-kendala yang ditemui tidak banyak menghalangi jalannya program pengelolaan sumber daya manusia berbasis kompetensi tersebut. Semoga bermanfaat.

Referensi
Boxall, Peter, et al. (Eds). 2007. The Oxford Handbook of Human Resource Management. New York: Oxford University Press Inc.

Dubois, David D, et al. 2004. Competency-Based Human Resource Management. United States of America: Davies-Black Publishing, a division of CPP, Inc.

http://www.oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0168000#m_en_gb0168000 (diakses 3 Januari 2011).

http://en.wikipedia.org/wiki/Competency-based_management (diakses 3 Januari 2010).

http://en.wikipedia.org/wiki/Competence_(human_resources) (diakses 3 Januari 2010).


Thanks for reading.


Salam Excellent, Read More...

HR MANAGEMENT DI JEPANG

Nihon ni okeru Jinji Kanri
Konsep HR Management di Jepang, boleh dikatakan agak unik dan berbeda bila dibandingkan dengan konsep HR Management yang umum berlaku di negara negara lain.

Contohnya, sebagaimana diuraikan dalam buku “Manajemen Jepang” (1958) yang ditulis oleh James Abegglen, dia menyatakan bahwa ada 3 hal yang menjadi harta suci dalam kebijakan manajemen SDM Jepang, yaitu: shushin koyo (kerja seumur hidup); nenko joretsu (senioritas); dan kigyou betsu kumiai (serikat pekerja lokal yang berdiri sendiri pada masing masing perusahaan

Pandangan tersebut adalah berdasarkan gambaran budaya manajemen Jepang yang heterogen pada masa J Abegglen mengungkapkan hal tersebut, dan hal itulah yang oleh orang luar (non Jepang) dianggap sebagai landasan pendorong produktivitas yang tinggi di Jepang sejak akhir 1970,


Kemudian, bila disimak dalam sejarah, dunia pendidikan di Jepang tidak memberikan pendidikan kejuruan, sehingga pada waktu itu, pendidikan dan pelatihan kejuruan bagi karyawan, dianggap sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh masing masing perusahaan, dan diberikan sejak karyawan diterima dan masuk bekerja pada perusahaan, misalnya pendidikan dan pelatihan melalui OJT, serta hasil dari akumulasi pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman kerja. Sehingga, yang dianggap paling penting dalam konsep HR Management di Jepang, adalah pendidikan dan pelatihan karyawan di dalam perusahaan.

Perubahan paradigma HR Management setelah Perang Dunia II.

Sampai pada masa masa menjelang pertumbuhan ekonomi tinggi di Jepang, main stream dalam HR Management di Jepang adalah sistim senioritas.

Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang mulai terjadi di Jepang, diperkenalkan konsep baru yang lebih fokus pada penilaian prestasi kerja individu, menggantikan konsep hasil kerja (kinerja) tim dengan budaya senioritas.

NIKKEIREN (Federasi Ekonomi Jepang, semacam APINDO di Indonesia) mempublikasikan hal ini pada tahun 1969, sebagai Manajemen Merit System. Metodenya adalah dengan memperkenalkan konsep Competency Based HR Management.

Namun pada kenyataannya, dalam praktek sehari hari, kebijakan dan perlakuan (treatment) terhadap karyawan yang dibedakan berdasarkan senioritas, masih tetap berlangsung dan terus dipergunakan.

Setelah konsep Manajemen SDM Berdasarkan Kinerja (Kompetensi Based HR Management) dipergunakan dalam kurun waktu yang lama, lalu terjadi keruntuhan ekonomi yang disusul oleh resesi ekonomi Jepang, NIKEIREN (Federasi Ekonomi Jepang) pada waktu itu memperkenalkan “Era baru Manajemen Jepang”, Pada laporan tersebut, yang menjadi tuntutan utama adalah menjalankan Teori Portofolio Ketenagakerjaan.

Hal ini adalah konsep berpikir HR Management yang dimaksudkan untuk menjawab tuntutan membangun kepribadian dan kemampuan kreatif karyawan. Bersamaan dengan itu, menyediakan berbagai pilihan yang sesuai dengan kebutuhan (keinginan) karyawan

Intinya adalah, karyawan (atau hubungan kerja) dibagi dalam 3 kelompok, yaitu sebagai investasi yang dialokasikan untuk manfaat jangka panjang, kemudian, pengembangan lanjutan profesionalisme, serta fleksibilitas pekerjaan (menggantikan spesialisasi).

Bersamaan dengan investasi serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan hal tersebut (3 hal) diatas, hal ini adalah untuk memudahkan penyesuaian penggunaan tenaga kerja, dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas manajemen melalui pengelolaan tenaga kerja (karyawan).

Akan tetapi, konsep Portofolio Ketenagakerjaan yang diaplikasikan pada tahun 2000, telah menimbulkan masalah sosial, yaitu dengan bertambahnya rasio tenaga kerja non permanent (irregular employment) dibandingkan dengan tenaga permanen, yang dikritik sebagai penyebab kesulitan yang timbul akibat kesenjangan perlakukan tenaga kerja.

Kemudian, pada tahun 2000 NIKKEIREN mempublikasikan reformasi HR System metode Jepang, untuk merespon globalisasi manajemen yang sedang terjadi..

Lalu, ada usulan untuk mengadopsi Value Based System, dan pada saat itu, beberapa perusahaan mengadopsi sistim tersebut untuk menggantikan sistem yang lama.

Kebanyakan perusahaan, melakukan perbaikan / penyesuaian pada Sistem Penilaian Kinerja Karyawan (Performance Appraisal) dengan memasukkan aspek kompetensi, yang bertujuan untuk melakukan rekonstruksi (perbaikan ulang) pada sistim penilaian yang adil berdasarkan prestasi karyawan.

Namun pada sebagian perusahaan (yang melakukan standar penilaian hanya berdasarkan kompetensi individu) diakui ada yang mengalami masalah penurunan produktivitas setelah mulai menjalankan sistim penilaian kinerja karyawan berdasarkan prestasi, namun, perusahaan yang mengaplikasikan sistim value based sederhana ini hanya sedikit.
Read More...

BUMN Jadi Contoh Penerapan Aturan Tenaga Kerja

Dikutip dari: http://apindo.or.id/index.php/berita-a-artikel/news/607?task=view

Written by Administrator Wednesday, 03 August 2011 16:17

Batam (ANTARA News) - Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berjumlah 141 lembaga dengan 353.372 pekerja, diharapkan menjadi contoh yang baik di bidang penerapan peraturan ketenagakerjaan.

Perusahaan BUMN senantiasa menjunjung tinggi hak-hak dasar pekerja, namun pada saat yang bersamaan perusahaan BUMN mampu mempertahankan, bahkan meningkatkan daya saing usaha perusahaan, kata Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Myrna M. Hanartani.

Meski demikian, menurut Dirjen PHI dan Jamsos saat membuka sarasehan Forum Hubungan Industrial BUMN di Batam Rabu, di beberapa BUMN masih terdapat kasus-kasus hubungan industrial.



"Tetapi saya yakin, tidak ada unsur kesengajaan dari pihak manajemen untuk mengabaikan ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan yang diberlakukan di masing-masing BUMN itu," kata Myrna.

Ia mengatakan, penyebab terjadinya kasus-kasus hubungan industrial di BUMN lebih disebabkan adanya kekurangan informasi dan kekurangpahaman terhadap berbagai ketentuan.

Kondisi itu menimbulkan perbedaan persepsi sehingga terjadi disharmoni antara manajemen dan para pekerja. "Hal seperti itu akan sangat mengganggu kinerja perusahaan BUMN," kata Myrna.

Permasalahan hubungan industrial di BMUN, menurut Myrna dalam saraseham bertajuk "Menjalin Hubungan Industrial yang Harmonis, dan Berkeadilan" antara lain perundingan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlarut-larut, PKB yang tidak dilaksanakan, perselisihan kepengurusan Serikat Pekerja, dan tuntutan perubahan status karyawan kontrak.

Dalam forum yang dihadiri para pengurus serikat pekerja di perusahaan BUMN, Direksi BUMN dan pejabat Kementrans serta para kepala dinas tenaga kerja berbagai propinsi/kota/kabupaten itu, Dirjen PHI dan Jamsos mengajak peserta sarasehan untuk memberi masukan bagi Pemerintah dalam kaitan rencana perubahan Undang Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

"Kita berharap forum ini dapat memberi masukan tentang pengaturan perusahaan BUMN yang akan disumbangkan pada perubahan UU No.13," kata Myrna

Read More...

STRUKTUR HR MANAGEMENT DI JEPANG

Sebagaimana penulis pernah ungkapkan pada berbagai tulisan sebelumnya, struktur dan gaya HR Management pada perusahaan, pada umumnya bisa berbeda, mengikuti kebutuhan dari kondisi dan situasi yang dihadapi oleh masing masing perusahaan.

Sebagai bahan tambahan untuk memperluas wawasan HR Management, berikut, penulis menggambarkan struktur HR Management yang pada umumnya berlaku dan dipergunakan di Jepang, dengan mengambil bahan uraian dari buku “KINDAI NO JINJIROMU KANRI” (MODERN PERSONNEL MANAGEMENT) yang ditulis oleh Mr. Kuroda dan Mr. Sekiguchi.

Secara umum, konsep HR Management di Jepang, pada prinsipnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan tenaga kerja, terutama dengan semakin berkurangnya “supply” tenaga kerja, dibandingkan dengan kebutuhan atau tersedianya lapangan kerja yang dalam periode 1970 -1990 tumbuh dengan pesat di Jepang.

Dalam bukunya “KINDAI NO JINJI ROMU KANRI” Mr. Kuroda dan Mr. Sekiguchi menyebutkan bahwa struktur HR Management di Jepang, pada prinsipnya dikelompokkan ke dalam 2 fungsi tugas, yaitu:

1. Personnel Management.
2. Industrial Relation.

Namun demikian, fungsi fungsi tersebut tidaklah berjalan sendiri sendiri, tetapi, saling mengisi dan bersinergi menuju sasaran yang sama, yaitu efisiensi atau peningkatan produktivitas tenaga kerja.



Struktur organisasi HR Management yang umum berlaku di Jepang, adalah sebagai berikut:

1. PERSONNEL MANAGEMENT

a. Employment Management.

Kelompok kerja ini bertujuan untuk melakukan tugas tugas rekrutment/hiring, melakukan job analysis, penilaian kinerja karyawan, membangun & memelihara kualitas kompetensi kerja yang baik, dan menempatkan karyawan pada posisi yang tepat.

b. Job’s Process Management.

Kelompok kerja ini melakukan tugas tugas “time study”, “motion study”, reengineering SOP dan lain lain.

c. Working Hours Management.

Kelompok kerja ini melakukan tugas tugas Pengaturan Skema Jam Kerja (pengendalian jam kerja yang tidak tetap /irregular working hours dan lain lain), pengaturan sistim hari libur, sistim jam istirahat, dan lain lain.

d. Wage & Salary Management.

Kelompok kerja ini melakukan kontrol tentang hal hal yang berkaitan dengan pengupahan, seperti Upah berdasarkan kompetensi / golongan, upah berdasarkan prestasi / hasil kerja, Annual Salary System, Uang pesangon / Uang Pensiun, rupa rupa tunjangan dan lain lain,

e. Health & Safety Management.

Kelompok kerja ini melakukan tugas tugas untuk mencegah penurunan motivasi kerja yang diakibatkan kecelakaan kerja, yaitu melakukan perbaikan lingkungan tempat kerja, pemeliharaan kesehatan karyawan. Undang undang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Jepang menegaskan bahwa setiap perusahaan dibebani kewajiban dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan karyawannya.

f. Pendidikan dan Pelatihan (People Development)

Melaksanakan segala hal yang bertujuan mendorong (memotivasi) karyawan untuk meningkatkan kualifikasi / kompetensi, seperti Training, On the Job Training (OJT), Job Rotation, Self effort for grade promotion

2. INDUSTRIAL RELATION

a. Koordinasi dengan Serikat Pekerja

Bertujuan untuk membangun hubungan kerjasama yang harmonis dengan karyawan, melakukan perundingan / dengar pendapat berkala dengan Serikat Pekerja, menyusun Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Sistim Kerjasama dengan Serikat Pekerja, dan lain lain

b. Kebijakan Kepegawaian

Proses / upaya menghilangkan keluh kesah karyawan, seperti masalah kesejahteraan, menampung pengaduan karyawan,

Dengan gambaran yang diberikan oleh Mr. Kuroda dan Mr. Sekiguchi tersebut, ada beberapa perbedaan dengan yang umum berlaku atau yang diimplementasikan di Indonesia, yaitu:

1. Wage & Salary Management.

Bilamana di Indonesia, atau di negara negara lain (Non Jepang) kelompok kerja Wage & Salary Management pada umumnya merupakan kelompok kerja yang berdiri sendiri, dan setara dengan sub unit lainnya, sebagaimana gambaran umum pembagian kelompok kerja HR Management yang terdiri dari 1. HRD; 2. Industrial Relation; 3. Wage & Salary Management; tetapi di Jepang, kelompok kerja Wage & Salary Management tidak memerlukan kelompok kerja yang besar, karena sistim pengupahan dan tingkat upah pada setiap perushaaan pada dasarnya tinggal mengikuti sistim dan tingkat upah yang berlaku secara umum dan standar. Komponen upah dan besaran nilanya pada dasarnya berlaku sama, baik untuk perusahaan besar maupun perusahaan keci, sehingga Slip Gaji ada dijual dan dapat di beli di toko ATK, sebagaimana laiknya membeli blanko Kwitansi di Indonesia.

Perbedaan format upah pada perusahaan besar dengan perusahaan kecil pada umumnya adalah pada apa yang disebut sebagai Annual Salary, yaitu bonus. BIasanya, bonus dibagikan 2 kali setahun, yaitu “bonus musim panas” dan “bonus musim dingin”. Dan biasanya, nilai bonus musim dingin selalu lebih besar dari bonus musim panas. Biasanya, nilai bonus pada perusahaan besar selalu lebih besar nilainya dibandingkan dengan bonus pada perusahaan ekcil.

Suasana penerimaan bonus, biasanya akan terlihat dari maraknya iklan / promosi penjualan properti (rumah), mobil dan lain lain yang berharga mahal.

2. Job’s Process Management.

Fungsi atau unit kerja ini merupakan perbedaan yang menonjol antara Struktur HR Management di Jepang dengan Struktur HR Management di Indonesia.

Sepanjang pengalaman atau pengetahuan penulis, boleh dikatakan, tidak ada unit kerja HR Management di Indonesia yang memasukkan fungsi ini sebagai tugas dari HR Management, akan tetapi logika umum (mind set) di Jepang menekankan bahwa hal ini merupakan salah satu tugas utama dari HR Management. Logika (mind set) ini terbentuk sesuai dengan jenis perusahaan di Jepang, yang didomionasi oleh perusahaan manufaktur.

Walau pun dalam dekade terakhir, dalam struktur organisasi perusahaan di Jepang unit kerja Production Engineering sudah mulai muncul dan semakin merupakan gambaran umum, akan tetapi, HR Management harus tetap ikut terlibat dalam proses pekerjaan Analisa Human Factor Engineering. Hal inilah yang membuat kinerja manufaktur di Jepang semakin efisien, sehingga mampu mengalahkan kinerja manufaktur di negara negara lain,

Apa yang dilakukan oleh unit kerja ini adalah melakukan perbaikan SOP, terutama SOP pada proses produksi. Sebagai bagian dari tugas ini, mereka melakukan perhitungan “standar time”, “cycle time” dan “tact time” untuk menetapkan standar waktu yang layak dalam kategori efisien dalam melakukan satu penggalan proses pekerjaan.

Selain melakukan analisa dan penghitungan “standard time”, “cycle time” dan “tact time”, mereka juga melakukan analisa gerakan kerja (motion study). Tujuan dari proses ini adalah untuk melihat, apakah di dalam proses gerakan kerja ada gerakan gerakan yang menimbulkan “iddle time” atau “waste time”

Proses seperti ini tentu tidak ada dan memang tidak dibutuhkan pada perusahaan lain, seperti perusahaan oil & gas. Oleh karena itu, praktisi HR pada perusahaan oil & gas tidak mengenal fungsi atau unit kerja ini. Sementara kalau dicermati, yang menjadi fasilitator pada berbagai program pendidikan atau training HR Management di Indonesia, lebih banyak dari latar belakang yang non manufaktur, sehingga konsep HR Management di Indonesia seakan akan tidak mengenal fungsi / unit kerja ini.

3. Job Rotation

Pada penglaman penulis, proses Job Rotation di Jepang dilakukan dengan intens. Seorang HR Manager dirotasi menjadi Production Manager dan sebaliknya Production Manager menjadi HR Manager, kemudian Manager Maintenance dirotasi menjadi Manager Logistik, dan seterusnya, adalah merupakan hal yang biasa pada perusahaan perusahaan di Jepang.

Management dan karyawan di Jepang meyakini bahwa proses Job Rotation adalah merupakan salah satu bagian penting untuk pengkaderan calon pimpinan di kemudian hari.

Bagaimana di Indonesia, justru banyak karyawan yang menganggap bahwa Job Rotation (Mutasi) seakan akan merupakan suatu hukuman bagi karyawan, sehingga banyak karyawan yang menolak di mutasi.

Demikian secara ringkas gambaran Struktur HR Management di Jepang. Semoga menambah wawasan dan wacana.
Read More...

Konsep buruh upah murah, justru bumerang bagi dunia usaha

Membaca judul diatas, mungkin saja banyak yang kaget. Pekerja kalau bisa diupah murah, kok menjadi bumerang bagi dunia usaha?. Sudah sejak lama, yang menjadi paradigma umum di Indonesia adalah, bahwa agar perusahaan mampu bersaing, harus menekan biaya tenaga kerja (labor cost), dan untuk itu kalau bisa, upah pekerja harus ditekan semurah mungkin. Paradigma ini bisa diterima dan menjadi keyakinan umum, adalah karena pada umumnya dunia usaha kita masih terbiasa berpikir untuk kepentingan sendiri-sendiri, jarang yang berpikiran luas pada saat berhadapan dengan perbedaan kepentingan. Terlebih lagi, sejak masa awal digalakkannya promosi penenaman investasi di Indonesia, yang menjadi slogan yang ditawarkan adalah buruh upah murah di Indonesia, Tetapi saya mau mengajak kita semua untuk berpikir, apakah memang benar demikian?

Mari kita merenung sejenak. Menurut data Kemnaker trans RI, jumlah tenaga kerja di Indonesia sekarang ini ada sekitar 45 juta jiwa, dan bila setiap tenaga kerja secara rata rata harus menghidupi 2 orang anggota keluarga, yaitu istri dan 1 orang anak, maka jumlah penduduk yang hidupnya tergantung pada upah adalah sekitar 135 juta jiwa. Seandainya seluruh pekerja di Indonesia mau bekerja tanpa diberi upah, hanya diberi makan saja, apa yang bakal terjadi?. Daya beli pasar domestik menjadi rendah!. Dalam keadaan demikian, siapa yang akan mengalami kesulitan? Siapa yang akan membeli barang-barang hasil industri? Inilah yang harus kita cermati!.
Agar menjadi lebih jelas, mari kita telusuri, apa saja yang akan terjadi, apabila kita tetap mempertahankan konsep pekerja upah murah.
1. Daya beli pasar domestik menjadi rendah à tingkat penjualan (sales omzet) produsen (industri dan bahkan petani) menjadi rendah.
2. Ditinjau dari teori Abraham Maslow, level kehidupan pekerja hanya pada level mampu bertahan hidup dan tidak mencapai level aktualisasi diri à produktivitas dan kreatifitas akan menjadi hal yang jauh dari pikiran pekerja à produktivitas rendah.
3. Moral masyarakat pekerja menjadi rendah à disiplin kerja rendah à kriminalitas akan meningkat.
4. Kemampuan pekerja dan petani untuk menyekolahkan anak menjadi rendah à tingkat intelektualitas angkatan kerja menjadi rendah à dunia usaha akan kesulitan memperoleh calon tenaga kerja terdidik.
5. Pekerja dan petani tidak akan berempati kepada dunia usaha à potensi konflik sosial cenderung akan meningkat.
Kalau kia melakukan analisa lebih lanjut dari seluruh kecenderungan diatas, maka yang terjadi adalah siklus menurun dari pertumbuhan ekonomi dan dunia usaha, yaitu sebagai berikut:
Daya beli pasar domestik menurun à Sales omzet menurun à Produksi diturunkan à Lapanan kerja berkurang à Tingkat pendapatan semakin menurun à Daya beli pasar domestik semakin menurun à Sales omzet semakin menurun à Dunia usaha bangkrut à Krminalitas meningkat à akhirnya akan terjadi kekacauan sosial (keos).
Kesimpulannya, bila kita tetap mempertahankan paradigma untuk menekan level upah pekerja, maka yang terjadi adalah tekanan terhadap pertumbuhan dunia usaha dan tentu pada akhirnya akan menghancurkan ekonomi negara.
Lalu apa yang harus dilakukan?. Menaikkan level upah?
Memang level upah harus dinaikkan, tetapi menaikkan upah tidak boleh sembarangan. Sebab, level upah yang naik drastis atau terlalu besar, akan mendorong kenaikan inflasi yang tidak terkendali dan pada akhirnya yang terjadi adalah keos ekonomi.
Level upah harus dinaikan terbatas sampai pada level dimana pekerja mampu menyekolahkan anaknya dengan baik, mampu membeli peralatan rumah tangga hasil industri, dan kemampuan menabung sebagai kompensasi uang pesangon. Apabila hal itu dilakukan secara simultan, maka daya beli pasar domestik akan meningkat, dunia usaha dapat berpikir untuk meningkatkan kapasitas produksi à lapangan kerja bertambah à GNP meningkat à tingkat intelektualitas angkatan kerja semakin baik à tingkat kriminalitas menurun à pertumbuhan ekonomi akan lebih mampu mensejahterahkan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan daya saing perusahaan? Bukankah menaikkan level upah akan membuat harga barang produksi meningkat?
Pada poin inilah ada kekeliruan pradigma, menganggap bahwa level upah otomatis akan menjadi harga produksi, padahal sebenarnya tidak. Masih ada hal lain yang mempengaruhi harga produksi. Tapi mari kita lihat, apakah level upah akan otomatis menjadi harga produksi atau tidak.
Pertama.
Mari kita menyimak negara maju, misalnya Jepang sebagai studi banfing. Tingkat pendapatan (upah) yang menjadikan masyarakat mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi, akan menghasilkan angkatan kerja terdidik dalam jumlah besar. Dengan demikian, level upah untuk tenaga terdidik cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan kesenjangan upah di Jepang, antara tenaga terdidik (sarjana) dengan tenaga kurang terdidik (paling tinggi SLTA), tidak terlalu jauh, bahkan hampir sama. Lebih lanjut, kesenjangan upah diantara level jabatan yang berbeda pun tidak terlalu jauh. Level upah antara karyawan biasa (operator) dengan Manager hanya 1 : 2 dan operator dengan General Manager hanya 1 : 3. Artinya, akan terjadi pergeseran biaya tenaga kerja, bila biaya tenaga kerja untuk level bawah dinaikkan, akan mengakibatkan biaya tenaga kerja untuk level atas menurun. Sehingga secara keseluruhan, menaikkan upah pada level bawah, tidak otomatis menaikkan total biaya tenaga kerja sebesar seperti yang dikuatirkan oleh banyak pengusaha. Dan bila kesenjangan upah tersebut dapat diturunkan, hal itu akan mampu menyurutkan kecemburuan sosial, dan secara logika, moral manusia akan menjadi lebih baik.
Dan satu lagi yang ingin saya sampaikan. Karena tingkat upah di Jepang dipelihara pada tingkat daya beli yang baik, maka dunia usaha Jepang tetap bisa survive dengan mengandalkan pasar domestik, walau mereka mengalami kesulitan di pasar export. Hal ini didukung juga oleh perilaku masyarakat (konsumen) Jepang, yang be-empati dan selalu mendukung dunia usaha dalam negeri mereka. Mereka sadar bahwa mereka harus mendukung dunia usaha dalam negeri, karena itulah lapangan kerja mereka. Bukan seperti di Indonesia, yang lebih bangga bila mampu membeli produk luar negeri.
Dan di Indonesia, mungkin ada aspirasi yang tidak menginginkan kesenjangan upah diturunkan, karena aspirasi yang menginginkan hidupnya harus jauh lebih “wah” terhadap orang lain, aspirasi itu adalah aspirasi dari paradigma feodalis, dan hal itu seyogyanya harus dfihilankgn.
Kedua.
Harga produksi dapat diturunkan dengan meningkatkan produktivitas. Contohnya sebagaimana tabel dibawah.
Tenaga Kerja 45 juta orang
Tingkat Upah
Produktivitas
Biaya per unit
Kondisi I
Rp. 800.000.-
100
Rp. 8.000.-
Kondisi II
Rp. 1.000.000.-
130
Rp. 7.695.-
Perbedaan
+ Rp. 200.000.-
+ 30
- Rp. 305.-
Makna yang tersirat dari tabel diatas adalah, walaupun level upah dinaikkan dari Rp.800.000,- menjadi Rp.1.000.000,- tetapi dengan menaikkan produktivitas dari 100 unit per orang tenaga kerja menjadi 130 unit per orang tenaga kerja, harga produksi akan turun dari Rp, 8.000,- menjadi Rp. 7.695,-. Berarti bukan lebih mahal!!!.
Tambahan lagi, dengan menaikkan level upah sebesar Rp. 200.000.-/1 orang tenaga kerja per bulan untuk tenaga kerja yang berjumlah 45 juta jiwa, akan menaikkan daya beli pasar domestik sebesar Rp. 9 trilyun per bulan!!! Yang akan menjadi pertambahan pasar bagi dunia usaha.
Lalu bagaimana dengan kenaikan produktivitas? Bagaimana caranya agar berhasil menaikkan produktivitas?
Hal itulah yang haru menjadi tanggung jawab dari fungsi HR Management. Dan hal itulah yang ingin kami dorong menjadi kesaragaman paradigma bersama. Sekedar gambaran saja, pada pengalaman saya, perusahaan Jepang yang baru buka dan baru beroperasi di Indonesia, pada umumnya, produktivitasnya sudah lebih baik dari perusahaan lokal yang sudah lama beroperasi. Namun demikian, mereka masih menetapkan bahwa paling lambat dalam waktu 5 tahun, produktivitas mereka harus naik minimal 30%. Memantapkan produktivitas peralatan, lay out dan sistim produksi, mudah buat mereka. Yang sulit adalah memantapkan produktivitas tenaga kerja. Dan itu adalah merupakan bagian dari tanggung jawab HR Management.
Mengapa harus HR Management yang bertanggung jawab? Karena HR Management yang menjangkau semua sektor / fungsi atau bagian di dalam perusahaan. Dan memang, kalau kita menelisik lebih mendalam mengenai konsep Strategic HR Management, yang menjadi target dari HR Management adalah “memberikan kontribusi optimal untuk mendukung pencapaian target perusahan, melalui pengelolaan SDM didalam perusahaan” Janganlah menyebut diri sebagai Strategi HR Manager kalau tidak mampu menyusun dan melaksanakan strategi untuk itu.
Maka, kami ingin menyampaikan pesan kepada dunia usaha, janganlah menganggap remeh terhadap fungsi strategis dari HR Management. Sudah banyak fakta yang membuktikan, bahwa perusahan yang mampu berkembang menjadi perusahaan besar, adalah perusahaan yang memiliki budaya HR Management yang baik. Bahkan saya dapat menegaskan, bahwa pertumbuhan dunia usaha Jepang menjadi perusahaan berkelas dunia adalah karena partisipasi dari tenaga kerjanya, yang loyalitasnya tumbuh sebagai hasil dari konsep HR Management yang “bersahabat”. Maka, janganlah menempatkan sembarang orang pada posisi HR Manager. HR Manager harus mampu menjadi penggagas dan koordinator peningkatan “leadership” dan “produktivitas” di dalam perusahaan, bukan sekedar mengurusi administrasi personalia. Administrasi personalia cukup menjadi tugas para staff di bagian HR.
Konsep inilah yang ingin kami sosialisasikan di Indonesia, agar menjadi kesepahaman paradigma tentang HR Management. Dan bila hal ini berhasil, kami yakin bahwa Indonesia Incorporate yang tangguh akan tercipta. Bagaimana pendapat anda?
Read More...

Employee Engagement – Realistiskah?

Dewasa ini, kalangan praktisi HR Management semakin ramai membicarakan konsep Employee Engagement. Bahwa, dalam upaya meningkatkan “contribution value” tenaga kerja terhadap perusahaan, perusahaan harus mengupayakan agar karyawan “merasa engaged” bekerja pada perusahaan.
Berdasarkan uraian pada berbagai literatur, yang dimaksud dengan engaged adalah suatu sikap yang terbangun dari perasaan terikat (menikah) pada pekerjaan dan perusahaan, Dan untuk mencapai kondisi tersebut, perusahaan harus melakukan proses employee engagement, yaitu proses yang membuat agar karyawan merasa puas dan bangga pada pekerjaan dan perusahaan, dan dengan demikian berkomitment untuk bekerja secara antusias dalam mendukung pencapaian target perusahaan.

Pertanyaan yang menggelitik hati saya adalah, apakah konsep yang ditawarkan pada pemikiran Employee Engagement tersebut, reaslistis atau tidak? Apalagi ada embel embel yang mengatakan bahwa, hasil employee engagement survey yang dilakukan oleh konsultan eksternal telah menjadi prasyarat untuk mendapatkan Malcolm Badridge Award.
Sebagai key point yang terlebih dahulu harus dijawab oleh praktisi HR adalah, apa yang menjadi target perusahaan? Karyawan Engaged atau produktivitas (daya saing hasil produksi)? Sebab, apabila praktisi HR ingin menjadi mitra strategis perusahaan (strategic partner), maka yang menjadi fokus bagi praktisi HR tentu adalah kontribusi terhadap upaya dan proses pencapaian target bisnis tersebut. Maka pertanyaannya adalah, apakah kondisi karyawan engaged itu merupakan prasyarat awal (in put) atau hasil dari kondisi perusahaan sukses (out put)?. Apakah perusahaan akan mencapai keunggulan setelah karyawan merasa engagaed atau perusahaan harus unggul terlebih dahulu baru karyawan merasa engaged?
Apabila dikatakan bahwa hasil employee engagement survey yang dilakukan oleh konsultan eksternal telah menjadi prasyarat untuk mendapatkan Malcolm Baldridge, lalu, untuk apa program Malcolm Baldrige diadakan? dan untuk apa survey dilakukan? Untuk membuat masalah ini menjadi jelas, ada baiknya kita menelusuri latar belakang munculnya program Malcolm Baldrige Award tersebut, yang mulai digalakkan pada dekade tahun 80-an di Amerika Serikat oleh mantan Menteri Perdagangan AS, Malcolm Baldrige.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana situasi di Amerika Serikat pada dekade 80an. Amerika Serikat “marah” setelah barang barang hasil produksi industri Jepang mulai “merampas” pangsa pasar hasil produksi Amerika Serikat, di dalam pasar domestik Amerika Serikat sendiri. Bila mobil Honda dengan merek Acura mulai merangsek pasar Kanada, maka Toyota merebut 40% pangsa pasar automotive di Amerika Serikat. Terlebih lagi setelah Toyota berhasil memproduksi dan memasarkan Lexus, segera saja merebut pangsa pasar mobil mewah hasil industri Barat, seperti BMW, Mercedes, dan Chrysler.
Demikian pula dengan pasar barang barang elektronic di Amerika, barang barang eletronik hasil industri Jepang semakin mendesak barang barang elektronik hasil produksi Amerika Serikat sendiri.
Situasi tersebut telah membuat industri Amerika harus menurunkan produksinya, dan akibatnya adalah, perusahaan Amerika Serikat terpaksa mengurangi karyawan, dan jumlah pengangguran di Amerika Serikat semakin bartambah. Kondisi ini telah membuat ekonomi Amerika mengalami kesulitan dan masyarakat Amerika menjadi marah. Timbul kerusuhan massa, khususnya di Detroit, pusat industri automitive Amerika Serikat, mobil mobil bermerek Jepang dirusak dan dibakar.
Situasi ini membuat pemerintah Amerika Serikat tersentak kaget dan mulai bertanya tanya, mengapa Jepang yang pada tahun 1974 mengalami keos akibat krisis minyak, ternyata hanya dalam waktu sekitar 6 tahun, mampu mengalahkan barang barang produksi Amerika di pasar Amerika Serikat sendiri?.
Pejabat ekonomi Amerika Serikat memanggil konsultan Amerika Serikat yang dulu mengajari Jepang, yaitu W Edward Deming dan Joseph M Juran, meminta informasi untuk mencari tahu, apa yang dilakukan oleh dunia industri Jepang, sehingga mampu mengalahkan industri Amerika Serikat, bahkan perusahaan Amerika yang skala usaha dan investasinya lebih besar dibanding perusahaan Jepang.
Amerika Serikat lalu menuding Jepang bersikap pelit sehingga mampu menekan biaya produksi. Lalu, pemerintah Amerika Serikat menggugat Jepang agar lebih manusiawi terhadap karyawannya, memberi kesempatan berlibur yang lebih banyak bagi karyawan. Setelah itulah Jepang menerapkan Golden Week di Jepang, karyawan diliburkan selama 1 minggu setiap tahun. Dan sejak saat itulah turis Jepang mulai membanjiri pusat pusat wisata di seantero dunia, karena bagi orang Jepang pada saat itu, wisata ke luar negeri malah lebih murah dibandingkan dengan wsata di dalam negeri Jepang sendiri.
Saya tidak ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat melakukan penyelidikan dan penelitian langsung ke Jepang, akan tetapi, Prof. Jeffrey Likers yang melakukan penelitian ke pabrik Toyota Motor yang kemudian menerbitkan buku THE TOYOTA WAY, dan baru baru ini menerbitkan lagi buku THE TOYOTA CULTURE, adalah bukti bahwa para pakar manajemen Amerika Serikat telah berupaya mempelajari metode dan teknik Jepang untuk meningkatkan produktivitas, yang menyasar pada Quality, Cost and Delivery (QCD), ditambah dengan konsep product development, sebagaimana terlihat pada kemunculan mobil Lexus hasil produksi Toyota.
Demikian pula David Hutchin, yang memperkenalkan konsep manajemen produksi Just in Time, dan berikutnya memperkenalkan konsep Hoshin Kanri (Strategi Manajemen) ke dunia luar Jepang, khususnya di Amerika Serikat.
Slogan yang muncul di ruang publik Amerika Serikat pada waktu itu, If Japan Can, Why Can’t We? adalah merupakan indikasi yang jelas tentang “kekesalan” dan “penasaran” Amerika Serikat terhadap keberhasilan Jepang. Dan keberhasilan Jepang tersebut telah menjadi fokus perhatian publik di Amerika Serikat.
Saya tidak juga ingin mengatakan bahwa Amerika Serikat “berguru balik” kepada Jepang yang sudah memiliki budaya perusahaan yang customer oriented, akan tetapi Amerika Serikat mulai menyadari bahwa mengandalkan keunggulan dalam aspek fungsional tertentu saja tidaklah cukup. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana semua elemen bisnis secara bersama-sama memberi nilai kepada pelanggan
Berdasarkan kesadaran itu pula, pemerintah Amerika Serikat mulai melakukan upaya untuk mendorong dunia usaha Ameriak Serikat agar melakukan perbaikan pada elemen elemen penting di dalam perusahaan, yang lebih dikenal dengan sebutan 7 kriteria Baldrige, yaitu:
1. Leadership
2. Strategi Planning
3. Customer and Market Focus
4. Measurement, analysis, and knowledge management.
5. Human Resources Focus
6. Process Management.
7. Bussines / Organizational Performance Results.
Sebagai upaya untuk meng-encourage dunia usaha Amerika Serikat, maka pemerintah Amerika Serikat mulai mengadakan program pemberian penghargaan, yang sejak tahun 1987 diberi nama Malcolm Baldige National Award (MBNA), diberikan kepada perusahaan perusahaan yang memiliki keunggulan pada ketujuh kriteria diatas.
Berikaitan dengan program pemberian penghargaan tersebut, pemerintah Amerika Serikat meminta bantuan konsultan, antara lain Burke dan Gallup, untuk melakukan pengukuran keunggulan perusahaan pada ketujuh kriteria tersebut.
Satu hal yang menjadi perhatian saya, bila ketujuh kriteria Malcolm Baldrige disusun berdasarkan hasil pengamatan di Jepang, maka saya menganggap bahwa mereka melakukan kelalaian yang sama dengan kelalaian para pakar atau pengamat non Jepang terhadap budaya kerja dan manajemen Jepang. Mereka terkecoh dengan tampilan luar (tatemae) perilaku Jepang, dan tidak sampai menemukan hakekat yang sesungguhnya (honne) dari budaya kerja dan prinsip manajemen Jepang.
Salah satu yang mungkin keliru adalah kriteria pertama dari kriteria Malcolm Baldrige tersebut, yaitu Leadership. Bahwa leadership di Jepang tidaklah sama dengan pemahaman leadership yang diajarkan secara umum di luar Jepang, akan tetapi kepemimpinan Jepang lebih bernuansa sebagai hubungan antara “kakak” (senior/sempai) dengan “adik” (junior/kohai) dalam bagian dari budaya Corporate Culture Jepang. Bahwa yang terlihat sebagai kekuatan Leadership di Jepang, adalah merupakan tatanan etika dalam masyarakat Jepang, bahwa “sempai” harus membimbing dan bertanggung jawab terhadap karir dan kehidupan “kohai” . Sebaliknya, tatanan etika masyarakat Jepang mengharuskan “kohai” harus hormat dan menjunjung “sempai”. Seandainya pun “sempai” tidak memiliki kompetensei atau perilaku baik, “kohai” harus menutupi “kelemahan” sempai. Dan “kohai” yang berusaha menunjukkan atau menonjolkan dirinya lebih baik dari “sempai”, adalah perilaku yang tidak etis dalam masyarakat Jepang. Prinsip tersebut berlaku sejak masa sekolah, sampai memasuki dunia kerja, tidak hanya di dalam dunia manufaktur, akan tetapi di dalam lingkungan pemerintahan dan organisasi non profit pun, prinsip itu berlaku.
Kemudian, berbarengan dengan pemberian penghargaan Malcolm Baldrige yang selalu diawali dengan pelaksanaan pengukuran (survey) yang dilakukan oleh para konsultan dengan latar belakang psikologi industri dan organsasi, lalu, dalam hal yang berkaitan dengan fokus HR Management (kriteria 5), pada tahun 1993, muncullah konsep employee engagement dalam literatur akademi. Konsep tersebut mengatakan bahwa sikap karyawan yang sudah engaged akan membuat perusahaan menjadi unggul,
Lagi lagi, saya tidak berani menyatakan bahwa pemikiran ini mungkin muncul sebagai suatu kesimpulan dari pengamatan atas budaya kerja orang Jepang. Akan tetapi, slogan yang marak dibicarakan di Amerika waktu itu, yang mengatakan If Japan Can, Why Can’t We?, serta gambaran yang diajukan sebagai gambaran dari karyawan engaged adalah gambaran dari sikap tenaga kerja Jepang sejak tahun 80-an, menimbulkan indikasi bahwa pemikiran yang muncul pada konsep employee engagement, ada kemungkinan merupakan suatu asumsi setelah melakukan pengamatan “mengapa Jepang bisa lebih unggul?”.
Dan, bila survey atau penelitian tentang perilaku tenaga kerja dilakukan di Jepang setelah memasuki tahun 80-an, untuk mencari tahu bagaimana peran tenaga kerja yang membuat industri Jepang bisa lebih unggul, saya yakin bahwa mereka pasti mendapat gambaran yang salah pula.
Ada dua hal yang menjadi pertanyaan krusial terhadap konsep employee engagement ini, yaitu:
1. Apakah sikap engaged merupakan prasyarat awal untuk membuat perusahaan menjadi unggul, atau perusahaan unggul dulu baru karyawan merasa engaged?
2. Apakah sikap engaged ini muncul hanya bila karyawan merasa puas terhadap pekerjaan dan perusahaan?
Sikap dan perilaku tenaga kerja Jepang memasuki tahun 1980, justru sudah mulai berubah setelah keberhasilan industri Jepang, membuat tenaga kerja Jepang merasa bangga dan puas. Dengan kepuasan yang mereka mulai rasakan, tenaga kerja Jepang malah mulai manja, tidak mau lagi bekerja pada perusahaan yang kondisi kerjanya mengandung 3 K, yaitu Kitsui, Kitanai dan Kiken. Sejak itu, pabrik pabrik yang proses kerjanya kotor, sulit atau berbahaya, semakin sulit mendapatkan tenaga kerja. Fresh graduate Jepang pada waktu melamar pekerjaan, mulai memilih perusahaan yang memiliki cabang di luar negeri, agar mereka memiliki peluang yang lebih besar untuk bertugas di luar negeri Jepang.
Bahwa keberhasilan industri Jepang memasuki dekade 80-an, sebenarnya adalah hasil dari sikap kerja para tenaga kerja sebelum memasuk dekade 80-an. Maka, bila ingin melakukan penelitian terhadap faktor yang membuat keberhasilan industri Jepang setelah memasuki tahun 80-an, seharusnya penelitian dilakukan pada masa masa sebelum tahun 80-an.
Bahwa keberhasilan industri Jepang yang terlihat pada dekade 80-an, adalah merupakan hasil dari sikap tenaga kerja Jepang sebelum memasuki dekade 80-an, sedangkan sikap yang terlihat setelah memasuki dekade 80-an adalah sikap yang terbentuk setelah industri Jepang berhasil dan mampu bersaing dengan industri Barat, maka sesungguhnya, sikap engaged tenaga kerja Jepang pada era sebelum memasuki dekade 80-an, bukanlah karena kepuasan kerja, akan tetapi karena mereka memiliki harapan bersama (satu harapan) dan sikap saling percaya antara karyawan dengan majikan, sebagai hasil dari budaya hubungan kerja (industrial relation) yang lebih bersifat kekeluargaan (corporate family). Dan itulah yang merupakan hasil dari budaya kepemimpinan dan manejemen Jepang.
Memang, Amerika Serikat harus diakui kedigdayaannya dalam hal penemuan teknologi baru. Dan bisnis mereka pun berkembang pesat adalah karena pada masa awal teknologi baru tersebut diaplikasikan dalam bisnis, mereka belum menghadapi persaingan, bahkan cenderung memonopoli,
Akan tetapi dalam hal kinerja manufaktur atau produktivitas tenaga kerja, Amerika Serikat ternyata masih harus belajar pada Jepang yang mampu unggul menghadapi persaingan yang sangat ketat. Jepang merebut “hati” pasar, bukan hanya fokus pada kompetisi harga, akan tetapi juga dalam hal kualitas serta layanan purna jual, yang telah diperlihatkan dengan program product liability.
Maka, bila kita memang ingin membuat agar karyawan di perusahaan merasa engaged, dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja bisnis, apakah kita akan belajar ke Amerika yang sesungguhnya malah belajar kepada Jepang?. Atau, bukankah lebih tepat bila kita belajar langsung dari konsep dan gaya Jepang?

Read More...

Indonesia Minim Jiwa Kepemimpinan

Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan krisis ekonomi masih terasa di Indonesia. Selama enam tahun ini, Indonesia masih tertinggal dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Korea Selatan, dan negara lain di kawasan Asia. Negara-negara tersebut sudah mampu keluar dari krisis dan menata ekonominya untuk menyambut permainan globalisasi dan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Penyebab kemajuan mereka, menurut Charlo Mamora, Managing Partner Transforma, karena adanya dukungan dari perusahaan-perusahaan yang dapat menyikapi krisis tersebut dengan arif. Demikian dilaporkan harian Media Indonesia.

"Mereka melakukan penyelarasan pola pikir individu dan pembenahan kepemimpinan top team untuk organisasi. Kedua hal ini adalah yang paling menentukan dan membedakan suatu organisasi akan menjadi pemenang, biasa-biasa saja, atau bahkan punah," katanya di seminar Top Team Leadership di Jakarta baru-baru ini.

Lebih lanjut Charlo mengungkapkan, Jepang berhasil mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui gerakan kualitas, dan Korea mampu bersaing di pasaran internasional dengan program survival atau kuantum.

"Indonesia sebenarnya dapat mengikuti jejak kedua bangsa itu, mengejar ketertinggalan melalui gerakan penyelarasan mindset (mindset alignment movement). Tetapi, selama pejabat pemerintah melihat dirinya sebagai penguasa bukan pelayan masyarakat, selama itu pula perubahan berarti tidak akan terjadi. Selama mentalitas guru melihat dirinya sebagai pengajar, bukan sebagai pendidik, selama itu pula kualitas sumber daya manusia kita tidak akan mengalami perubahan besar," ucapnya.

Begitu juga dalam dunia bisnis. Menurut Charlo, perusahaan sebagai pelaku utama harus meninjau pola pikir yang dianut. Perusahaan harus berani mengubah pola pikir yang merugikan. Untuk itu, ada lima hal yang harus diperhatikan. Pertama, adanya visi yang menantang secara bisnis dan memiliki daya pikat bagi karyawan melalui transformasi komunikasi dari pimpinan. Visi perusahaan tersebut harus melekat di semua jajaran karyawan. Kedua, adanya program kuantum, atau lompatan dari perusahaan untuk mencapai nilai ekonomis yang tinggi.

Ketiga, adanya budaya dan praktik pengembangan talenta. Itu berarti, semua orang diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuannya. Keempat, adanya proses plan-do-check-action (PDCA) yang berjalan pada setiap organ perusahaan dan terintegrasi secara keseluruhan. Kelima, adanya bahasa persatuan kerja dan interaksi dengan pelanggan atau pihak luar organisasi yang dijalani oleh keseluruhan orang dalam organisasi.

Kelima hal itu menurut Charlo membutuhkan tenaga yang luar biasa, tidak cukup lagi hanya dengan seorang CEO yang kuat seperti masa lalu.
Read More...