Nihon ni okeru Jinji Kanri
Konsep HR Management di Jepang, boleh dikatakan agak unik dan berbeda bila dibandingkan dengan konsep HR Management yang umum berlaku di negara negara lain.
Contohnya, sebagaimana diuraikan dalam buku “Manajemen Jepang” (1958) yang ditulis oleh James Abegglen, dia menyatakan bahwa ada 3 hal yang menjadi harta suci dalam kebijakan manajemen SDM Jepang, yaitu: shushin koyo (kerja seumur hidup); nenko joretsu (senioritas); dan kigyou betsu kumiai (serikat pekerja lokal yang berdiri sendiri pada masing masing perusahaan
Pandangan tersebut adalah berdasarkan gambaran budaya manajemen Jepang yang heterogen pada masa J Abegglen mengungkapkan hal tersebut, dan hal itulah yang oleh orang luar (non Jepang) dianggap sebagai landasan pendorong produktivitas yang tinggi di Jepang sejak akhir 1970,
Kemudian, bila disimak dalam sejarah, dunia pendidikan di Jepang tidak memberikan pendidikan kejuruan, sehingga pada waktu itu, pendidikan dan pelatihan kejuruan bagi karyawan, dianggap sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh masing masing perusahaan, dan diberikan sejak karyawan diterima dan masuk bekerja pada perusahaan, misalnya pendidikan dan pelatihan melalui OJT, serta hasil dari akumulasi pengetahuan dan keterampilan melalui pengalaman kerja. Sehingga, yang dianggap paling penting dalam konsep HR Management di Jepang, adalah pendidikan dan pelatihan karyawan di dalam perusahaan.
Perubahan paradigma HR Management setelah Perang Dunia II.
Sampai pada masa masa menjelang pertumbuhan ekonomi tinggi di Jepang, main stream dalam HR Management di Jepang adalah sistim senioritas.
Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang mulai terjadi di Jepang, diperkenalkan konsep baru yang lebih fokus pada penilaian prestasi kerja individu, menggantikan konsep hasil kerja (kinerja) tim dengan budaya senioritas.
NIKKEIREN (Federasi Ekonomi Jepang, semacam APINDO di Indonesia) mempublikasikan hal ini pada tahun 1969, sebagai Manajemen Merit System. Metodenya adalah dengan memperkenalkan konsep Competency Based HR Management.
Namun pada kenyataannya, dalam praktek sehari hari, kebijakan dan perlakuan (treatment) terhadap karyawan yang dibedakan berdasarkan senioritas, masih tetap berlangsung dan terus dipergunakan.
Setelah konsep Manajemen SDM Berdasarkan Kinerja (Kompetensi Based HR Management) dipergunakan dalam kurun waktu yang lama, lalu terjadi keruntuhan ekonomi yang disusul oleh resesi ekonomi Jepang, NIKEIREN (Federasi Ekonomi Jepang) pada waktu itu memperkenalkan “Era baru Manajemen Jepang”, Pada laporan tersebut, yang menjadi tuntutan utama adalah menjalankan Teori Portofolio Ketenagakerjaan.
Hal ini adalah konsep berpikir HR Management yang dimaksudkan untuk menjawab tuntutan membangun kepribadian dan kemampuan kreatif karyawan. Bersamaan dengan itu, menyediakan berbagai pilihan yang sesuai dengan kebutuhan (keinginan) karyawan
Intinya adalah, karyawan (atau hubungan kerja) dibagi dalam 3 kelompok, yaitu sebagai investasi yang dialokasikan untuk manfaat jangka panjang, kemudian, pengembangan lanjutan profesionalisme, serta fleksibilitas pekerjaan (menggantikan spesialisasi).
Bersamaan dengan investasi serta pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan hal tersebut (3 hal) diatas, hal ini adalah untuk memudahkan penyesuaian penggunaan tenaga kerja, dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas manajemen melalui pengelolaan tenaga kerja (karyawan).
Akan tetapi, konsep Portofolio Ketenagakerjaan yang diaplikasikan pada tahun 2000, telah menimbulkan masalah sosial, yaitu dengan bertambahnya rasio tenaga kerja non permanent (irregular employment) dibandingkan dengan tenaga permanen, yang dikritik sebagai penyebab kesulitan yang timbul akibat kesenjangan perlakukan tenaga kerja.
Kemudian, pada tahun 2000 NIKKEIREN mempublikasikan reformasi HR System metode Jepang, untuk merespon globalisasi manajemen yang sedang terjadi..
Lalu, ada usulan untuk mengadopsi Value Based System, dan pada saat itu, beberapa perusahaan mengadopsi sistim tersebut untuk menggantikan sistem yang lama.
Kebanyakan perusahaan, melakukan perbaikan / penyesuaian pada Sistem Penilaian Kinerja Karyawan (Performance Appraisal) dengan memasukkan aspek kompetensi, yang bertujuan untuk melakukan rekonstruksi (perbaikan ulang) pada sistim penilaian yang adil berdasarkan prestasi karyawan.
Namun pada sebagian perusahaan (yang melakukan standar penilaian hanya berdasarkan kompetensi individu) diakui ada yang mengalami masalah penurunan produktivitas setelah mulai menjalankan sistim penilaian kinerja karyawan berdasarkan prestasi, namun, perusahaan yang mengaplikasikan sistim value based sederhana ini hanya sedikit.