I. Pendahuluan
Budaya spiritual dapat dipahami sebagai tradisi turun-temurun masyarakat yang merupakan perwujudan dari pikiran dan tingkah-laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yakni kekuatan-kekuatan spiritual dan gaib. Kegiatan olah spiritual ini bermaksud mempertebal dan memperkuat daya rohaniah dan batiniah dengan mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Kekuatan dan Kekuasaan Yang Maha Agung, Yang Maha Mulia.
Kegiatan olah rohaniah dan batiniah ini di Indonesia, khususnya di Jawa, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilakukan dalam masyarakat, dengan wadah-wadah perkumpulan atau paguyuban spiritual sehingga membentuk budaya spiritual yang secara nyata menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat dan bangsa.
II. Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia (SDM) dalam budaya spiritual di Indonesia lazim disebut ”penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Secara umum, sumberdaya manusia (SDM) dalam kegiatan-kegiatan budaya spiritual dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam. Pertama, SDM pemuka atau pemimpin; kedua, SDM peserta atau kader.
Mengenai yang pertama, SDM pemuka atau pemimpin terdiri dari SDM yang harus diteladani, menjadi panutan dan memimpin kaum penghayat dalam paguyuban atau organisasinya. Ia adalah pemuka atau pemrakarsa yang status kepemimpinannya dapat berasal dari keturunan (ascribed status) atau dari hasil ketekunannya dan prestasinya (achieved status) dalam budaya spiritual. Sedangkan mengenai yang kedua, SDM peserta atau kader adalah SDM yang berperan-serta dalam kegiatan-kegiatan laku penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dalam kegiatan-kegiatan lain paguyuban atau organisasi.
III. Paguyuban atau Organisasi
Para pelaku penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan SDM budaya spiritual sekarang ini hidup dan bergaul dalam masyarakat moderen. Tak bisa dihindari paguyuban atau organisasi yang dijalankan adalah organisasi moderen yang menyesuaikan kebutuhan, atau perpaduan antara organisasi tradisional dan moderen.
Seperti lazim diketahui, suatu organisasi memerlukan susunan pengurus, yakni orang-orang yang dipilih, dipercaya dan bertanggung-jawab menjalankan roda organisasi penghayat. Namun demikian harus diingat bahwa kepemimpinan dalam organisasi penghayat haruslah mumpuni dalam laku penghayatan dan laku spiritual. Oleh sebab itu kepemimpinan dalam budaya spiritual harus sejalan dengan karakteristik dan kebutuhan organisasi yang dipimpin yaitu organisasi budaya spiritual, organisasi kaum penghayat, yakni organisasi yang berorientasi olah rohani, olah spiritual.
Tokoh spiritual penghayat yang mumpuni, yang patut diteladani, berwibawa, wicaksana dan karismatik sangat diharapkan dapat memimpin dan mengarahkan organisasi dan pengikutnya untuk mencari dan menemukan ketentraman hidup melalui laku rohani, laku penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tidak hanya itu, dalam kepemimpinan organisasi budaya spiritual tokoh demikian diharapkan sekaligus memimpin paguyuban atau organisasi yang harus menghadapi arus perubahan zaman yang begitu cepat, sedangkan pemimpin demikian kadang-kadang ”kurang sempat” memikirkan organisasi (moderen) yang sedikit banyak bersifat ”duniawi.”
IV. Dua Macam Kepemimpinan
Oleh sebab itu dalam paguyuban atau organisasi penghayat dapat dipertimbangkan adanya 2 (dua) macam kepemimpinan. Yang pertama, pemimpin spiritual dan yang kedua, pemimpin organisasi (moderen).
Yang pertama, pemimpin spiritual, diharapkan lebih sebagai penasehat (spiritual) yang memberi nasehat, mengarahkan dan mengajarkan kepada para penghayat tentang persoalan dan ajaran penghayatan atau kebatinan, gaib, spiritual, kerohanian. Biasanya pemimpin demikian adalah sesepuh yang disegani, dipercaya dan menjadi panutan para penghayat karena menyandang ”ilmu (gaib atau kebatinan) yang tinggi.” Pemimpin spiritual yang demikian diharapkan dapat membawa dan mengarahkan para penghayat pada ketentraman dan penciptaan suasana sejuk dalam kehidupan spiritual yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan budaya spiritual yang diharapkan dapat mengimbangi gerak laju dan dinamika masyarakat dapat dilakukan dengan mengajak partisipasi aktif dari para pemimpin spiritual. Dalam upaya-upaya demikian, interaksi dan kerjasama antara para pemimpin pemerintahan, keagamaan, kebudayaan, politik, ekonomi dan para pemimpin spiritual penghayat harus terus digalang, terutama dengan maksud untuk pemahaman dan penyelasaran bersama mengenai masalah-masalah laten dan aktual masyarakat yang selalu terjadi dan berkembang. Interaksi dan kerjasama begitu penting terutama pada saat masyarakat dan bangsa menghadapi krisis dalam bidang-bidang kehidupan.
Dengan perkataan lain, dalam upaya pelestarian budaya spiritual yang selaras dengan dinamika perubahan dan perkembangan masalah-masalah zaman yang aktual, para pemimpin spiritual harus senantiasa bersiaga untuk turun gunung, turun dari gua pertapaan dan memandu para pengikutnya menghadapi persoalan zaman, agar mereka tidak merasa bingung, agar mereka merasa masih dapat menghayati nilai, ajaran luhur dan mulia sebagai pedoman hidup.
Adapun yang kedua, pemimpin organisasi (moderen) penghayat kepercayaan, dalam upaya pelestarian budaya spiritual harus menjalankan pengelolaan SDM dengan kegiatan-kegiatan spiritual secara konsisten. Organisasi atau paguyuban budaya spiritual harus dijalankan oleh para pengurus. Pemberdayaan organisasi yang dapat dilakukan adalah pemberdayaan pengurus atau pengelola organisasi. Meskipun terdapat penasehat spiritual, para pengurus atau pengelola organisasi atau paguyuban budaya spiritual sebisa-bisa memenuhi syarat-syarat khusus, seperti
(1) mumpuni atau memahami adat dan nilai-nilai tradisi spiritual masyarakat;
(2) memiliki kepedulian dan bersedia nguri-uri (mengelola, mengembangkan dan melestarikan adat dan tradisi dalam budaya spiritual) yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
(3) bertanggungjawab atau menjalankan komitmen untuk menghidupkan dan mengembangkan organisasi;
(4) menghayati dan mengamalkan adat dan tradisi dalam budaya spiritual;
(5) memiliki pandangan luas mengenai adat dan tradisi dalam budaya spiritual yang di-uri-uri tapi juga memiliki solidaritas yang tinggi terhadap adat dan tradisi lain.
Selain itu, seorang pengurus organisasi budaya spiritual akan lebih berharga jika:
(1) memiliki dedikasi atau pengabdian untuk mengetahui, memahami dan menghormati adat dan tradisi lain yang dianggap baik sehingga ia dapat memetik pelajaran darinya; dan
(2) tidak terjebak ke dalam chauvinisme, sektarianisme dan politik praktis, dengan mengembangkan kepemimpinan yang demokratis dan musyawarah.
Dia akan membawa organisasi budaya spiritual yang dipimpinnya dalam kancah kehidupan masyarakat moderen di antara organisasi-organisasi lain. Dia akan menjadi panutan bagi para pengurus lain yang membantunya menghidupkan dan mengembangkan organisasi budaya spiritual. Dia bertanggungjawab dalam pemberdayaan organisasi atau paguyuban beserta para pengurus yang bekerja bersamanya.
V. Pemberdayaan SDM Anggota
Anggota organisasi budaya spiritual dapat bersifat tetap dan tidak tetap. Pemberdayaan anggota dilakukan dengan penyusunan dan pelaksanaan program kegiatan. Di antara anggota atau pendukung harus terdapat donatur atau penyumbang organisasi, yang dapat diangkat sebagai anggota kehormatan atau status lain sebagai penghargaan terhadap sumbangannya. Pendukung dan anggota organisasi harus terdiri atas berbagai usia, kelas ekonomi, status sosial dan jenis kelamin. Untuk pengembangan dan pelestarian budaya spiritual, anak-anak dan kaum muda adalah pendukung dan anggota paling potensial.
Program-program kegiatan harus dilaksanakan dengan strategi, teknik dan metode moderen, jika tidak, organisasi atau peguyuban akan segera tenggelam ditelan zaman.
VI. Penutup
Dalam situasi masyarakat majemuk yang demikian kompleks, dengan perkembangan zaman yang penuh krisis, konflik dan keresahan, kiranya budaya spiritual menempati posisi yang strategis untuk mendorong dan mengajak masyarakat selalu eling lan waspodo.
Budaya spiritual dengan laku penghayatan manembah Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi dengan hening, ning, ning diharapkan dapat mengendalikan dan meredakan nafsu dan hawa panas peradaban bangsa yang bergolak. Nuwun.
Rahayu, rahayu, rahayu.
Semarang, Sabtu Pahing, 19 April 2008.
Nurdien H. Kistanto
Guru Besar Antropologi dan Dekan Fakultas Sastra UNDIP. Mendapat gelar B. A. dan Drs. dari Universitas Diponegoro (1980), gelar M. A. dari Michigan State University, Michigan USA (1985) dan Ph. D. dari Sydney University, Australia (1995).
Daftar Pustaka
Giddens, Anthony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity Press.
Jary, David, and Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: HarperCollins.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Propinsi Jawa Tengah. 2006. “Panduan Workshop Pemberdayaan Lembaga Adat Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006.” Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah.
Kistanto, Nurdien H. 2005a. “Pembekalan Moral-Spiritual Jawa bagi Pemimpin di Indonesia Masa Kini,” Laku Budaya Jawa II, Yayasan Studi Bahasa Jawa Kanthil Semarang, PGRI Jawa Tengah, dan PEPADI Komda Jawa Tengah, di Hotel Quality Sala, Rabu-Kamis, 2-3 Februari.