Di era knowledge economy, manusia merupakan modal utama setiap organisasi sehingga melahirkan istilah human capital (seperti nama majalah kita ini, red). Pada saat kita berbicara tentang manusia, maka seyogyanya peran bagian HR (human resource) akan tampak menonjol dan signifikan dalam setiap organisasi. Seharusnya inilah era bagi Direktur, Manajer atau Kepala Bagian HR untuk tampil ke depan berdiri sejajar – kalau tidak mendominasi – dengan direktur bidang lainnya.
Kenyataannya tidaklah begitu. Sebagian besar orang-orang HR tertinggal di belakang, dan dalam beberapa kasus mengalami pengkerdilan dalam arti yang sebenamya. Penyebabnya sangat beragam, mulai dari CEO yang kurang memahami atau menganggap penting aspek human capital bagi kesuksesan organisasi hingga kesalahan orang-orang HR sendiri yang tidak pernah berusaha menjadi mitra bisnis sejajar.
Dalam kasus pertama, CEO atau direksi lain beranggapan bagian HR cukup mengurusi aspek administrasi personel saja, seperti gaji, lembur, absensi, melakukan PHK, dan sejenisnya. Sebagian besar aktivitas itu kini bisa dilakukan dengan menggunakan sistem teknologi informasi (TI) sumber daya manusia yang disediakan oleh berbagai pengembang piranti lunak berskala kecil hingga berskala besar macam Oracle, People Soft, SAP, dan sebagainya. Maka, begitu otomatisasi administrasi HR itu dinilai lebih efisien dan akurat, fungsi pengadministrasian itu diambil-alih oleh TI (dalam hal ini biasanya dikelola oleh bagian TI).
Pengambilalihan ini semakin membuat orang HR kehilanganp peran dan eksistensinya. Konsekuensinya, jumlah bagian HR berkurang drastis. Tak jarang, akhirnya, orang-orang HR kemudian digabungkan ke dalam bagian TI dengan kepemimpinan berada di tangan orang TI – bukan di tangan orang HR. Mereka pun dipaksa untuk belajar teknologi ketimbang menjalankan peran HR yang lebih dibutuhkan.
Keputusan manajemen perusahaan “mengkerdilkan” bagian HR -seperti di atas jelas sebuah kekeliruan besar. Nyawa manajemen HR tidak akan bisa dijalankan oleh mesin atau oleh orang TI. Teknologi dibuat oleh orang-orang TI dengan memahami proses bisnis bagian HR, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, seperti ditegaskan Regional Sales Leader Mercer Consulting Greg Lipper, teknologi hanya buseess enabler dalam bidang HR – alat bantu dalam menjalankan pekerjaan. “TI tidak bisa menggantikan peran HR secara menyeluruh,” tegasnya kepada Human Capital. Lagipula, fungsi bagian HR delam era knowledge economy tidak lagi sebatas proses pengadministrasian tetapi jauh lebih strategis dari hal itu.
Sejatinya, orang-orang TI pun mengakui bahwa dalam manajemen HR, jauh lebih baik menyerahkannya kepada orang HR yang mengerti teknologi ketimbang orang TI yang mengerti mengenai HR. "Manajemen HR jauh lebih rumit daripada manajemen teknologi. Pengetahuan dasarnya justru berada di tangan orang HR,” tukas Gunawan Lukito, Direktur Pemasaran Oracle.
Ancaman lain yang berdampak pengkerdilan terhadap bagian HR adalah derasnya praktik outsourcing HR. Sekitar 2002, misalnya, perusahaan migas Maxus Indonesia membabat habis orang HR dengan hanya menyisakan 2 orang saja (VP HR dan satu sekretaris merangkap stafnya). Pembabatan ini dimungkinkan karena sebagian besar proses manajemen HR dialihdayakan kepada perusahaan lain. Begitu mudahnya bagian HR dipreteli.
Kasus Maxus di atas merupakan kasus ekstrim, namun gelombang outsourcing (alih daya) bidang HR dalam skala lebih kecil berlangsung cepat di dunia dalam beberapa tahun terakhir. Sebuah survei global terhadap perusahaan besar oleh Hewitt Associates tahun ini mendapatkan fakta 94% telah mengalihdayakan setidaknya 1 (satu) aktivitas di bidang HR. Sebelum 2008, menurut survei yang sama, perusahaan tersebut telah menyusun rencana untuk memperluas praktik outsourcing ke berbagai aktivitas HR, termasuk fungsi pembelajaran dan pengembangan, penggajian, rekrutmen, kesehatan dan kesejahteraan, dan mobilitas global.
Berbagai tren pengkerdilan di atas benar-benar akan mengkerdilkan bagian HR sehingga menjadi pukulan mematikan bagi orang-orang yang ingin berkarir di bagian HR bila mereka membiarkannya terjadi. Transformasi fungsi dan cara berpikir orang HR menjadi jawaban kuncinya.
“Mereka harus menjalankan peran yang lebih strategik dalam konteks keberhasilan organisasi,” ujar Dr. AS Ruki, konsultan SDM senior di Indonesia.
Transformasi tersebut enak untuk diucapkan, tetapi tidak mudah dalam pelaksanaannya. Kebutuhan untuk melakukan transformasi sejalan dengan semakin berkembangnya bisnis. Menurut pandangan guru manajemen HR terkemuka dari University of Michigan Dave Ulrich dalam bukunya Human Resources Champion, ada 4 tahapan peran yang dijalankan bagian HR di dalam setiap perusahaan.
Tahap pertama adalah HR tradisional atau tahap administrasi, di mana bagian HR hanya menjalankan fungsi administrasi saja, seperti membayar gaji, menghitung absensi, lembur, dan seterusnya. Perkembangan berikutnya melahirkan tahap kedua, yaitu bagian HR harus menyesuaikan peraturan perusahaan dengan peraturan pemerintah (government accountability), misalnya hubungan industrial – di luar pekerjaan administratif tadi. Kita mengenal pula istilah hubungan karyawan (employee relationship).
Tahap ketiga, bagian HR berperan dalam aspek yang lebih strategik, yaitu pengembangan SDM (HR Development) – di luar peran pengadministrasian dan mengelola HR sesuai aturan pemerintah. Tahap keempat, bagian HR sudah berperan sebagai mitra bisnis (business partner) perusahaan. HR bukan hanya memainkan peran dasarnya sebagai bagian dari manajemen, tetapi berperan penting dalam menentukan kesuksesan bisnis perusahaan. Peran HR pada tahapan terakhir ini merupakan tuntutan dari era human capital.
Pada tahapan mana bagian HR perusahaan berperan, menurut Dosen & Assistant Director CBM & EDP Prasetya Mulya Matakhir Derita, sangat ditentukan sejauh mana perkembangan perusahaan. “Jika masih baru, tentu masih dalam tahap administrasi. Perusahaan yang sudah matang atau mapan tentu mengharuskan bagian HR sebagai mitra strategik perusahaan,” ungkapnya.
Dave Ulrich juga menjelaskan 4 fungsi yang bisa dijalankan bagian HR sebagai mitra bisnis strategik. Pertama, sebagai mitra strategik bagi eksekutif puncak dalam melakukan formulasi dan implementasi strategi bisnis. Bagian HR bukan hanya berperan dalam menyusun dan melaksanakan strategi bisnis perusahaan, tetapi seperti dikatakan Direktur bii Sukatmo Padmosukarso juga mewarnai strategi dan implementasinya. Kedua, sebagai agen perubahan. Mereka mampu mendesain, mempelopori, dan mengubah sikap dan perilaku SDM perusahaan sesuai dengan budaya yang dibutuhkan.
Ketiga, berperan dalam meningkatkan kinerja dan kontribusi karyawan terhadap keberhasilan perusahaan sehingga bisa menjadi champion bagi perusahaan. Fungsi terakhir, keempat, bagian HR harus ahli dalam menjalankan administrasi bidang SDM: rekrutmen, training dan pengembangan, peningkatan kinerja, sistem remunemerasi, dan seterusnya.
“Fungsi keempat ini harus beres dulu, karena itu merupakan fungsi dasar dari bagian HR. Kalau belum beres, bagaimana bisa bagian HR bicara strategi?” tambah Matakhir dengan nada bertanya.
Menggunakan pemikiran Dave Ulrich, kebanyakan bagian HR perusahaan di Indonesia masih berada pada tahap pertama dan tahap kedua. Sebagian kecil sudah masuk ke tahap ketiga, dan nyaris sedikit sekali organisasi di mana bagian HR-nya bisa disebut sebagai mitra bisnis strategik perusahaan. Lukman Kristanto, Direktur HR Mulia Group, setuju dengan kesimpulan tersebut. “Mereka masih sibuk dan tenggelam dengan masalah administrasi. Cuma dia lupa tidak mengaitkannya dengan aspek bisnis perusahaan.”
Lucky Suardi, Konsultan dari Mercer HR Consulting, sering mendapatkan keluhan dari manajemen puncak perusahaan tentang kurangnya pemahaman bagian HR terhadap visi, misi, dan strategi bisnis perusahaan. “Itu konsisten kami temui di sejumlah perusahaan khususnya perusahaan yang sedang bertransformasi, ” akunya. Sementara di perusahaan yang sudah mapan, lanjutnya, secara umum mereka telah menempatkan HR di posisi yang tepat.
Lukman tidak setuju jika HR sebagai mitra strategik hanya untuk perusahaan yang sudah mapan ataupun sedang melakukan transformasi fungsi. Seharusnya di setiap perusahaan, paparnya, bagian HR menjadi mitra strategik, dan hal ini sangat tergantung kepada orang yang memimpin bagian HR itu sendiri. “Kalau dia old fashion, susah juga,” katanya.
Unilever Indonesia merupakan salah satu perusahaan yang memiliki bagian HR dengan fungsi mitra bisnis strategik. Implementasi sistem Balanced Scorecard di perusahaan produk konsumen terkemuka ini semakin mengukuhkan peran vital bagian HR terhadap pencapaian bisnis perusahaan, karena mereka bertanggung jawab dalam perspektif learning & growth dengan ukuran-ukuran kinerja (Key Performance Indicator/KPI) yang jelas. Bukan hanya pasif menunggu kebijakan bisnis perusahaan, tetapi juga proaktif memberikan masukan dalam formulasi dan implementasi strategi bisnis.
Strategi manajemen sangat menentukan lahimya bagian HR yang paham tentang bisnis dan bagaimana berkontribusi dalam pencapaian target bisnis perusahaan. Menurut Josef Bataona, Direktur HR Unilever Indonesia, setiap hari seluruh karyawan Unilever dibiasakan melihat pencapaian bisnis Unilever (realisasi vs target bisnis hingga hari itu secara kuantitatif) di layar TV yang ada di pojok setiap lantai Graha Unilever. Jika kinerja setiap kategori bisnis belum memuaskan, karyawan dari setiap bagian akan berpikir apa yang bisa mereka lakukan untuk meningkatkan kinerja tersebut. “Semuanya kami coba kuantitatifkan dalam bentuk bottom line. Toh, ujung-ujungnya kita berbicara pencapaian finansial,” tuturnya mantap.
Dengan cara ini, seluruh bagian perusahaan – termasuk bagian HR- akan terbiasa dan selalu berpikir dalam konteks bisnis. Bahasa komunikasinya pun jadi sama: bahasa bisnis. Orang HR otomatis tahu apa makna dari tidak tercapainya sebuah target bisnis dalam perspektif manajemen HR: pengembangan kompetensi, manajemen talenta, perbaikan sistem promosi dan insentif, dan seterusnya.
Bagaimana caranya?
Pada dasamya menjadi mitra bisnis strategik mengharuskan orang-orang HR paham tentang visi, misi, dan strategi bisnis perusahaan. Pemahaman tersebut menjadi dasar bagi bagian HR menjalankan transformasi bagian HR melalui dua jalur : menyelaraskan strategi manajemen HR dengan strategi perusahaan, dan memberikan layanan HR secara efektif dan efisien.
Pertanyaannya, seberapa banyak orang HR yang mengerti visi, misi, dan strategi bisnis perusahaannya bekerja? Ada banyak cara bagi bagian HR untuk memahami visi, misi, dan strategi bisnis perusahaannya, antara lain, menghadiri setiap rapat eksekutif, mendengarkan ceramah/pengarahan eksekutif lainnya, membaca buku laporan tahunan, bertanya kepada CEO, membaca selebaran informasi internal perusahaan, berita pers, dan analisis industri.
Sejatinya, strategi bisnis setiap perusahaan sangat beragam: mempertahankan posisi pemimpin pasar, meningkatkan pangsa pasar, menjadi perusahaan terbesar, menjadi perusahaan paling menguntungkan, meningkatkan kepuasan pelanggan, paling cepat meluncurkan produk/layanan baru, fokus pada segmen bisnis yang paling menguntungkan, dan seterusnya. Setiap strategi bisnis tersebut membutuhkan manajemen HR yang berbeda-beda: mulai dari profil kompetensi orang yang dibutuhkan hingga program training dan remunerasinya.
Namun, di sinilah seringkali orang HR kedodoran. Studi di negara Anerika menunjukkan, manajer HR kurang memiliki minat di bidang hisnis atau diperlengkapi dengan pengetahuan tentang bisnis. Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap karyawan potensial (talent) yang akan menentukan masa depan perusahaan, kenyataan ini sangat memprihatinkan.
Studi lain oleh Society for Human Resource Management (SHRM), sangat sedikit orang HR yang memiliki gelar di luar S-1 (bachelor degree). Kondisi ini lebih buruk dari kondisi tahun 1990. Studi yang sama memberikan data menarik: ditanya tentang berbagai kursus akademik yang paling bernilai untuk kesuksesan karir di bidang HR, mereka menjawab keahlian berkomunikasi interpersonal dinilai paling penting (83%). Pengetahuan tentang UU Ketenagakerjaan dan Etika berada di urutan berikutnya, masing-masing 71% dan 66%. Kemampuan manajemen perubahan hanya 35%, dan manajemen strategik hanya 32%. Lalu, pengetahuan tentang keuangan? Hanya 2%.
Masalah lain, kalaupun manajer atau eksekutif HR cukup memahami aspek bisnis, Dave Ulrich menyampaikan kritiknya bahwa mereka lebih mementingkan aktivitas di bidang HR daripada hasilnya. Dia memberi contoh pemberian training berdasarkan ukuran jam training setahun tanpa diketahui sampai sejauh mana efektivitas training tersebut. Idealnya setiap aktivitas training juga mengukur ROI (Return on Investment). “Anda akan dinilai efektif bila memberikan nilai tambah,” sambil menegaskan, “Anda dinilai bukan pada apa yang dikerjakan, tetapi pada apa yang dihasilkan.”
Menurut Dave Ulrich dalam buku The HR Value Proposition, HR harus menciptakan nilai bagi perusahaan. Caranya banyak: mendorong pengembangan kompetensi dan komitmen bagi seluruh karyawan, mengembangkan kemampuan bagi manajer untuk menerapkan strategi, membantu membangun hubungan dengan pe-langgan, dan menciptakan kepercayaan terhadap investor terhadap nilai masa depan dari perusahaan.
Bagi profesional HR, berbagai matriks manajemen HR sudah menjadi makanan sehari-hari. Sayangnya, sangat sedikit yang menghubungkannya dengan kinerja bisnis. Sebagai institusi pencipta kekayaan (wealth creation), pada akhirnya seluruh aktivitas yang dilakukan perusahaan – termasuk manajemen HR – berujung pada imbal-hasil finansial (financial return). Itu sebabnya, gagasan agar pucuk pimpinan tertinggi HR menjadi CPO (Chief Performance Officer) kini bergaung keras.
Kalau kritik terhadap peran strategik HR di Amerika masih sebegitu besamya, bisa dibayangkan betapa kondisi empirisnya di Indonesia jauh lebih buruk dari hal tersebut. Dewasa ini, menurut Mercer, sekitar 50% bagian HR perusahaan Amerika sedang mentransformasikan perannya menuju mitra strategik, sementara di Asia angkanya mencapai 75% ke atas.
Repotnya, strategi bisnis perusahaan bisa berubah setiap tahun. Ini ikut menyulitkan orang HR untuk memahami strategi bisnis perusahaan dan menyelaraskan manajemen HR dengan strategi tersebut. Cepatnya dinamika perubahan bisnis diakui Corporate Services Director Indosat S. Wimbo S. Hardjito seringkali membuat bingung bagian HR. Setiap perubahan menuntut orang dengan kompetensi berbeda. Ia memberi contoh, dulu Rumah Sakit (RS) membutuhkan dokter yang bagus, tetapi sekarang selain bagus juga harus ramah dalam melayani. Selain itu, dulu manajemen RS menganggap orang yang datang ke RS, namun sekarang RS harus dipromosikan kepada konsumen. “Makanya, RS pun butuh orang pemasaran,” tuturnya.
Contoh lain adalah IBM. Dulu perusahaan raksasa ini menganggap dirinya sebagai perusahaan komputer sehingga membutuhkan orang yang pintar. Belakangan IBM mengklaim dirinya sebagai perusahaan jasa. Yang dibutuhkan jelas orang yang ramah dalam melayani. Sering terjadi, bagian HR terlambat melakukan antisipasi maupun penyesuaian terhadap kompetensi orang yang dibutuhkan.
Dalam persepsi Sukatmo Padmosukarso, Direktur bii, orang-orang HR tidak perlu memahami bisnis terlalu detil karena itu aka menyedot waktu dan konsentrasi sehingga mengganggu pekerjaannya sebagai orang HR.
“Memahami proses bisnis secara umum pun sudah cukup, namun harus memiliki kompetensi sebagai orang HR mumi," tegasnya. Untuk menjadikannya sebagai mitra strategis, bagian HR bii diikutkan dalam proses formulasi strategi bisnis dan berbagai forum bisnis lainnya. “Selain berpartisipasi, mereka juga mewamai strategi bisnis tersebut,” katanya. Dalam setahun terakhir, bahkan, bagian HRdi serahkan untuk mendidik line manager – tidak seperti yang terjadi di banyak perusahaan di mana peran line manager sedemikian sentralnya sehingga mengkerdilkan peran HR.
Bagi Julianto Sidarto, Country Manager Accenture, tidak semua bagian HR harus menjadi mitra bisnis strategik, tergantung pada bagaimana manajemen perusahaan menempatkan posisi HR, strategis apa tidak. Selama bukan bagian dari manajemen, maka bagian HR hanya menjalankan fungsi administrasi saja. “Hal seperti ini banyak terjadi di Indonesia,” ujamya. Hal tersebut jelas tidak terjadi di� Accenture. “Karena aset utama kami adalah manusia.” Di sini. HR merupakan bagian dari manajemen sehingga mendapat perhatiari sama dengan bagian pemasaran dan keuangan. Kalau bagian HR tidak jalan, lanjutnya, sebagai perusahaan penjual jasa manusia, maka tidak ada yang bisa dijual oleh Accenture.
Sulitnya Mencari Orang HR Berkualitas
Persoalannya, pasokan tenaga profesional di bidang HR di Indonesia sangat terbatas. Sumber pasokan utama profesional HR biasanya adalah lulusan psikologi dan hukum. Di bangku kuliah, mereka memang tidak diajarkan tentang berbagai aspek bisnis perusahaan yang sebetulnya terkait dengan tugas mereka sebagai orang HR Akibatnya, pemahaman orang HR terhadap bisnis perusahaan sangat rendah. Sulit sekali mendapatkan orang HR yang benar-benar profesional, seperti diakui Richard McHowat, CEO HSBC Indonesia.
“Saya kira sistem pendidikan HR di Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan kalangan bisnis,” tukasnya. Baginya maupun bagi HSBC, bagian HR memiliki fungsi strategik untuk pencapaian target bisnis perusahaan. “CEO dan eksekutif HR harus jalan bersama-sama. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” katanya mengilustrasikan pentingnya bagian HR. Secara singkat Richard mengatakan, bila manusia menjadi faktor pembeda bisnis perusahaan dengan pesaing maka berbagai aspek manajemen HR mulai dari rekrutmen hingga sistem reward harus dibuat secara terpadu.
Konsekuensi dari terbatasnya jumlah profesional HR di Indonesia – yang memiliki pemahaman tentang bisnis – menyebabkan banyak perusahaan terpaksa mengambil orang bisnis untuk memimpin bagian HR. Faktanya, sebagian besar eksekutif HR perusahaan di Irdonesia berasal dari kalangan bisnis, bukan orang-orang HR tulen. Endiy PR Abdurrahman, Direktur HR HSBC Indonesia, misalnya, berasal dari kalangan bisnis. S. Wimbo S. Hardjito, sebelum menjadi Direktur HR, adalah orang bisnis (CEO Satelindo). Juga Sukatmo Padmosukarso (bii), Nimrod Sitorus (Bank Mandiri), Muliadi Raharja (Bank Danamon), Kemal Ranadireksa (Bank BNI), dan banyak lagi.
Tetapi, pilihan terhadap orang bisnis ini tidak selalu manjur. Sukatmo menceritakan pengalamannya saat diminta memimpin bagian HR bii ketika bergabung dengan bank itu 2002. Sebagai eksekutif yang berasal dari bisnis jelas pengetahuannya tentang HR tidaklah lengkap. Ketika ia mengajak Kepala Divisi HR dan jajarannya mendiskusikan sistem manajemen HR bii dan berbagai teori HR, semuanya malah tidak mengerti. Rupanya sebagian besar orang HR berasal dari bisnis, yang besar di era kepemimpinan keluarga Eka Tjipta Widjaja dan tidak dibekali kemampuan mengelola orang yang baik. Wajar saja jika kemudian seringkali terjadi demonstrasi karyawan yang merasa tidak puas terhadap manajemen bii pada periode 1999-2001.
Richard McHowat sebetulnya lebih senang bila yang memimpin HR benar-benar praktisi HR sehingga perusahaan tidak perlu sering mengirimkannya ke berbagai program training, konferensi, dan seminar HR. “Sebab, untuk bisa bekerja profesional, orang bisnis harus dibekali dulu ilmu dan teori HR yang memadai,” lanjutnya.
Kelangkaan tenaga profesional HR ini menyebabkan pasar profesional HR mengalami booming. “Sulit sekali mencari profesional HR berkualitas,” aku beberapa eksekutif perusahaan executive search / head hunter kepada Human Capital.
Bagaimana seorang CEO menempatkan fungsi HR memang sangat menentukan strategik atau tidaknya bagian HR. Seperti Richard, CEO Telkomsel Kiskenda Suriamihardja, juga menempatkan bagian HR pada posisi yang sangat strategis. Itu sebabnya, ia memegang langsung manajemen HR bersama-sama dengan Direktur HR, VP HR, dan Kepala Divisi HR. "Soal manajemen HR saya tidak mau main-main. Maju atau tidaknya organisasi sangat ditentukan keberhasilan dalam mengelola HR,” tegasnya serius.
Sebagai orang Telkom, sikap dan keyakinan Kiskenda itu telah menjadi ciri khas orang Telkom, warisan nyata dari mantan CEO Telkom Cacuk Sudarijanto (alm.). Lain lagi dengan Robby Djohan. Di setiap perusahaan yang dia pimpin tidak ada jabatan Direktur HR karena menurutnya manajemen HR harus langsung dipegangnya sebagai CEO. “Bagian lain tidak perlu saya urus, tetapi manajemen HR itu harus ditangani langsung oleh CEO,” begitu ia menjelaskan prinsipnya.
Beruntunglah orang HK bila memiliki CEO dengan pemikiran di atas. Bagi yang tidak beruntung, untuk menjadi dan dianggap mitra bisnis strategik memang butuh upaya ekstra. Ia tidak datang dengan sendirinya. Henurut para penulis buku The Essentials of Negotiation, hasil kerjasama Harvard Business School dengan SHRM, praktisi HR harus meningkatkan kemampuan dirinya dalam bernegosiasi untuk mendapatkan dukungan dari bos, kolega, dan para bawahan (baca: “Strategi Menjadi Mitra Bisnis Strategik”).
Sekarang terpulang kepada para praktisi HR: ingin menjadi mitra strategik atau tidak?
Read More...